Dari
Amuntai ku berhijrah ke Banjarbaru. Dengan tangis, pergilah aku pada rel baru
yang aku pilih. Awalnya, seperti
dikutuki dan diabaikan. Dihantam kiri kanan, dan aku temui aku kuat
diantaranya. Aku mulai menjadi pintar kembali, mengisi kepala dan menekunkan
diri. Aku menang berkali-kali. Dan ku
akhiri semuanya, lulus dengan menerima predikat nilai UAN program bahasa
terbaik di SMADA Banjarbaru. Coba dulu aku bertahan di SMANSA Amuntai, cerita
lain, tak ada piala yang ku sumbangkan di rumah.
Sekali
lagi aku bisa, mengadu diriku dengan diriku yang lain. Berdamai dengan labirin
otak kanan dan otak kiri.
Kemudian,
hijrah kedua menjadi kisah dalam kisah. Bukan sebuah fiksi, tapi kenyataan dari
ketiadaan. Aku seorang yang terlahir
diatas sungai, dibesarkan diatas tanah rawa, berpindah ke pegunungan dengan
melintasi langit khatulistiwa. Aku mendarat di Malang.
Hidup
baru. Awalnya pun luar biasa. Kepintaranku masih setia, tekun aku dalam menata
diri. Aku masih jadi pemenang.
Tahun
berlalu, dan sudah mencapai lini akhir masa studi. Ku temui diriku kalah dalam
sejarah. Waktu dengan kejam membantaiku
dan merampas kesanggupanku menjadi pemenang. Aku dibiarkannya tersungkur, dan
menindihku kala aku mencoba berbangkit. Aku jatuh, kehilangan kepintaranku.
Studi ini menjadi sia-sia, apa yang akan ku katakan pada Abah Uma di sana ?
Sastra
Jepang. Aku benci kata itu beserta tata bahasanya. Apalagi segala kanji yang
tak bisa lagi aku baca. Aku merasa hina dan semakin ringkih. Studi ini
menipuku, awalnya bahagia, akhirnya derita. Pujian yang diganti serapahan. Dan
ingin ku sumpali setiap orang yang menanyakan mau jadi apa nanti ?
Aku
menyatakan angkat tangan. Menyerah. Mundur.
Oleh
karena itu, dengan sisa ketekunan dan kepintaran ini, aku memaksa rajin
menjamah skripsi si tugas akhir. Aku ingin talak tiga dengan sastra Jepang.
Mungkin tak akan ku kenali lagi. Dan mungkin tak kan ku sandingkan gelar
sarjana dengan namaku. Cukup ijazah.
Kuliah
ini mengajarkanku menjadi yang kalah. Mencabut kemenanganku. Melahirkanku pada
nista.
Aku
hanya ingin pulang, membasuh kaki Abah Uma tanda maaf. Dan berusaha kembali
menjadi pemenang.
Karena
aku terlahir bukan sebagai kambing, aku masih pintar untuk hidup ke depan.
Good
Bye aja lah....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Masukannya