Kamis, 25 Juli 2013

Curhat Pamer

Dari Amuntai ku berhijrah ke Banjarbaru. Dengan tangis, pergilah aku pada rel baru yang aku pilih.  Awalnya, seperti dikutuki dan diabaikan. Dihantam kiri kanan, dan aku temui aku kuat diantaranya. Aku mulai menjadi pintar kembali, mengisi kepala dan menekunkan diri. Aku menang  berkali-kali. Dan ku akhiri semuanya, lulus dengan menerima predikat nilai UAN program bahasa terbaik di SMADA Banjarbaru. Coba dulu aku bertahan di SMANSA Amuntai, cerita lain, tak ada piala yang ku sumbangkan di rumah.

Sekali lagi aku bisa, mengadu diriku dengan diriku yang lain. Berdamai dengan labirin otak kanan dan otak kiri.

Kemudian, hijrah kedua menjadi kisah dalam kisah. Bukan sebuah fiksi, tapi kenyataan dari ketiadaan.  Aku seorang yang terlahir diatas sungai, dibesarkan diatas tanah rawa, berpindah ke pegunungan dengan melintasi langit khatulistiwa. Aku mendarat di Malang.
Hidup baru. Awalnya pun luar biasa. Kepintaranku masih setia, tekun aku dalam menata diri. Aku masih jadi pemenang.

Tahun berlalu, dan sudah mencapai lini akhir masa studi. Ku temui diriku kalah dalam sejarah.  Waktu dengan kejam membantaiku dan merampas kesanggupanku menjadi pemenang. Aku dibiarkannya tersungkur, dan menindihku kala aku mencoba berbangkit. Aku jatuh, kehilangan kepintaranku. Studi ini menjadi sia-sia, apa yang akan ku katakan pada Abah Uma di sana ?
Sastra Jepang. Aku benci kata itu beserta tata bahasanya. Apalagi segala kanji yang tak bisa lagi aku baca. Aku merasa hina dan semakin ringkih. Studi ini menipuku, awalnya bahagia, akhirnya derita. Pujian yang diganti serapahan. Dan ingin ku sumpali setiap orang yang menanyakan mau jadi apa nanti ?

Aku menyatakan angkat tangan. Menyerah. Mundur.

Oleh karena itu, dengan sisa ketekunan dan kepintaran ini, aku memaksa rajin menjamah skripsi si tugas akhir. Aku ingin talak tiga dengan sastra Jepang. Mungkin tak akan ku kenali lagi. Dan mungkin tak kan ku sandingkan gelar sarjana dengan namaku. Cukup ijazah.
Kuliah ini mengajarkanku menjadi yang kalah. Mencabut kemenanganku. Melahirkanku pada nista.
Aku hanya ingin pulang, membasuh kaki Abah Uma tanda maaf. Dan berusaha kembali menjadi pemenang.

Karena aku terlahir bukan sebagai kambing, aku masih pintar untuk hidup ke depan.

Good Bye aja lah....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Masukannya