Jeda panjang. Istirahat yang terlalu awet, hingga lupa kembali bergerak, berputar, berevolusi. Tertegun pada akhir tahun 2019. Tiga tahun kemudian berlalu, sekarang aku berbeda orang. Ini tulisan panjang yang pertama sejak terhenti pada tahun yang telah lalu. Terakhir, duniaku antara tiket pesawat murah, backpack, tiga pasang baju dan transportasi malam untuk menghemat ongkos menginap. Perpindahan kota ke kota, dari satu negara ke negara lainnya, dari orang asing ke orang asing lainnya. Pergi jauh dari rumah untuk beberapa minggu, pulang dengan selamat dan berbahagia. Dijemput dengan hangat oleh Mama dan Abah. Sungguh. Menyenangkan...
Tanpa mengetahui bahwa dunia semua orang akan terjeda bersama-sama.
Masing-masing dari kita kemudian terseok-seok, tertatih, dari hari ke hari hanya untuk bertahan untuk tetap sehat, tetap waras, dan tetap hidup.
Alhamdulillah kita selamat. Namun beberapa dari kita banyak kehilangan. Kehilang momen, waktu, dan gairah. Dan aku kehilangan M.A.M.A. Membuat rongga besar menganga yang disebut dengan kekosongan. Sejak saat sirine ambulan yang meraung, parkir di depan rumah. Innalillahi, sudah sampai waktunya.
22-02-2022 jam 05.10
Suara panggilan sholat shubuh berkumandang, aku mengambil wudhu dan bergegas menggelar sajadah. Sedikit tergesa ku angkat tangan untuk takbiratul ihram, rukuk, dan sujud. Tepat saat rakaat kedua pada subuh itu, suara helaan nafas panjang terdengar lega menghembus. Jantungku berhenti sesaat, antara ingin lari atau rukuk dan sujud. Aku memilih bertahan sampai salam. Senyap sekali lorong itu. Kasus covid sedang meningkat, membuat ruangan sekitar steril dan kosong. Ku ciumi kaki mama, meminta ampun, meminta maaf sebesar-besarnya. Belum mampu mencerna apa yang terjadi, berbalut mukena aku hanya bisa lari ke ruang jaga perawat. Benar adanya, tensi dan denyut nadi sudah tiada.
22-02-2022 jam 05.20 ruang Al-Hakim 2... Seseorang yang terlahir pada 22-10-1961 berpulang dengan sangat tenang.
Pada babak ini, aku hanya sendirian, protokol kesehatan membatasi penjaga pasien. Tidak ada sesiapa, seorang diri menghadapi kenyataan, bahwa aku harus baik-baik saja. Banyak hal yang harus diurus. Pukul 06.20 dokter datang dan menyatakan secara resmi, pasien bernama Rose telah meninggal dunia. Selang oksigen dilepas, selimut dinaikan sampai menutup seluruhnya. Dokter dan perawat keluar menutup pintu. Saat itu duniaku hancur. Hanya ada jenazah mama dan aku, berdua berdampingan. Scene yang biasanya aku lihat difilm India, akhirnya aku pun melakukannya. Ku jatuhkan punggungku ke dinding keras itu, menyandarkan kepala pada dipan rumah sakit. Aku tangisi kepergiannya. Belum sempat lepaskan emosi karena otakku dalam mode siaga, air mata kupaksa berhenti. Aku belum mengabari sesiapapun.
06.30
Telepon orang rumah, telepon sanak famili mengabarkan kabar duka. Buka grup WA untuk meminta maaf atas nama almarhumah. Ternyata seberat itu untuk berkata. Terlebih pada abah yang belum menerima kabar itu sepenuhnya. Abah hanya mengulang kata tanya kenapa, kenapa, kenapa... Hanya bisa berucap untuk menyiapkan kedatangan kami. Aku tata tenaga yang ada membereskan barang-barang.
Sekali lagi, karena protokol covid pada waktu itu. Yang datang sepupu seorang saja. Dia bolak-balik antar barang dan mencari mobil ambulan. Jenazah mama berbaring dengan tenang, menunggu dijemput. Sedangkan hatiku kacau sekali. Bagaimana mungkin kematian menggambarkan kontradiksi yang sangat memilukan. Yang meninggal dan yang tertinggal. Yang tenang dan yang kacau. Yang berbahagia dan yang berduka. Aku yakin sekali, mama berpulang dengan bahagia. Saturasinya yang selalu dibawah 60%, pada waktu terakhirnya terpantau 97%. Nafasnya pasti lega sekali.
07.20
Jenazah mama berpindah ke mobil ambulan. Tuhan punya cara menghibur. Cucunya suka sekali dengan Doraemon, dan mobil ambulan yang kami naiki full dengan stiker Doraemon. Rasa yang tadinya pahit, jadi manis seketika. Sereceh itu memang, tapi Dialah yang maha penghibur. Kok bisa, seatap-atapnya ada doraemon dimobil ambulan.
07.34
Lantunan doa-doa yang terbaik menyambut kedatangan kami. Pintu rumah juga berbeda kali ini. Daun pintu terbuka lebar sekali, tuan rumah pulang. Berbaring menghadap kiblat. Petugas rukun kematian dengan lembut melepas pakaian, menyiapkan mandi terakhir mama. Baru kemarin, senin itu, mama duduk-duduk seperti menunggu sesuatu. Matanya menatap dalam pintu itu.
Jujur. Aku hanya ingin duduk, diam, dan berlama-lama dengan mama. Tapi prosesnya tidak sesederhana itu. Ada pelayat yang harus kita sambut, ada sanak famili yang berdatangan dan cerita yang perlu diulang-ulang. Oh, iya. Mama bukan sakit covid, tapi gejalanya sama, saturasi oksigen rendah.
Senin, 21-02-2022. Pagi hari yang cerah. Kakinya sudah seminggu yang lalu membengkak. Kata dokter puskesmas, tidak apa-apa, mungkin asam urat. Kemudian, pagi itu, tangannya membengkak membiru, bahkan jari-jarinya membulat. Mama biasa saja, terlihat engap tetapi tidak mengeluh apa-apa. Bahkan masih sempat mencuci pakaian. Untuk jaga-jaga, aku inisiatif membawa mama ke UGD Rumah Sakit. Dengan harapan rawat jalan seperti minggu lalu ke UGD Puskesmas. Kita berdua berangkat, mama jalan sendiri ke ruang UGD, karena aku harus cari parkiran. Wajahnya terlihat cemas, pikirku kecemasannya meningkat. Terlebih setelah berbaring diranjang UGD. Dokter bilang ini sudah parah. Jari-jarinya mulai menghitam. Sebelum periksa lebih jauh, mama di swab dulu sesuai protokol covid. Namun hasilnya positif. Serangan panik menyerangnya. Oksigen full, tapi saturasi hanya 75%. Dokter datang dan bilang penyebabnya adalah covid yang sudah ke paru-paru. Mama mulai goyah, responnya sudah ngelantur. Lambat laun mulai hilang kesadaran. Hasil ronsen menyatakan pembengkakan jantung. Paru-parunya bersih. Dokter kembali datang meminta maaf atas kesalahan hasil swab covid. Hasilnya tertukar dengan pasien UGD lain karena nama yang sama persis. Hasil swab mama padahal negatif. Pada momen itu, aku kebingungan, seorang diri mendampingi tanpa bisa bertukar pendapat pada sesiapapun. Sedangkan protokol penangan covid mungkin sudah dilakukan. Tensinya naik, saturasinya semakin anjlok. Harusnya ICU, tapi apa boleh buat ICU penuh oleh pasien covid. Qadarullah wa maa syaa-a fa ala.
10.00
Segalanya berjalan sangat sangat cepat. Kain kafan yang telah terhampar, penanda waktu berpisah segera datang. Ciuman terakhir dari abah, memecah tangis semua pelayat. Abah yang tadinya tegar, harus hancur sendirian. Harum cendana, adalah bau perpisahan. Selamat jalan, selamat tinggal kisah cinta abadi. Dua orang kekasih yang saling mencintai ini harus selesai sampai disini, ditanggal yang cantik ini.
Kain penutup paling atas adalah kerudung kuning lembut. Warna yang selalu mama mau beli kerudung warna kuning lembut. Mungkin kebetulan atau petanda. Kerudung yang ia mau itu tidak pernah terbeli. Namun entah mengapa, akhirnya kerudung dengan warna yang sama itu menjadi penutupnya.
11.30
Mama pergi. Dibawa dengan keranda, menuju masjid untuk disholatkan. Buru-buru aku kejar tapi tak sampai. Pintu itu tidak pernah lagi menunggunya pulang ke rumah. Sandalnya masih ada, hanya jejaknya saja yang bisa dikenang.
12.30
Aku sudah mulai tenang. Setenang-tenangnya. Sudah. Sudah. Sudah ku cerna dengan baik. Aku hanya ingin berduka dengan tenang. Iringan mobil jenazah sudah tiba, liang lahat sudah siap. Sekali lagi, semua serba cepat. Seolah mama sendiri yang ingin cepat selesai. Dunia fana ini sudah ia tinggalkan, beralih pada kehidupan berikutnya.
14.00
PEMAKAMAN SELESAI.
Ya Allah, ampunilah dia, berilah rahmat, sejahtera dan maafkanlah dia dan jadikanlah surga sebagai tempat peristirahatannya.
20.00
Yaaaaa.... pemakamannya selesai. Tamu-tamu sudah pamit. Rumah sudah kosong. Perabotan sudah tertata kembali, seperti semula. Rasanya kosong sekali. Lelah sekali. Sedih sekali. Juga lega sekali. Campur aduk.... Aneh juga terasa tidak nyata tapi nyata adanya. Abah masih tabah, tapi matanya kuyup. Kami tidak saling menghibur, tidak saling menguatkan, pun juga tidak saling menyalahkan. Kami hanya tenggelam, jauh dalam pikirannya masing-masing. Secara tiba-tiba yang selalu ada malah tiada. Mungkin ini fase limbung. Malam pertama tanpa belahan jiwa.
23.00
Selelah-lelahnya. Hati tidak mau istirahat. Tumpukan piring ku tata rapi. Karpet ku sapu. Lantai ku bersihkan. Kulkas dan lainnya ku pel berulang. Ingin mengakhiri hari dengan penerimaan.
01.00
Akhirnya aku pecah sendiri. Meratap. Meraung dalam hening malam. Tangis yang ku tahan-tahan, ku tumpahkan. Aku tidak baik-baik saja. Aku kacau. Tadi siang bukan aku, tapi Tuhan yang turun tangan. Aku tidak sekuat itu, tentu bukan aku. Aku babak belur, dalam sehari duniaku terjeda.
Perlu 1,5 tahun untuk aku berani menuliskan kisah ini. Kisah yang setiap hari lelahku datang, malamku tak pernah sama lagi. Kisah ini terus berputar dan berulang. Aku selalu mengingat segala detail kejadian hari itu. Aku sendirian. aku kehilangan, dan aku jatuh. Selama ini aku kelelahan untuk menuntaskan duka ini. Padahal ternyata proses berduka itu tidak pernah usai. Secara mental ini menguras energi, sangat-sangat melelahkan. Aku tidak baik-baik saja, aku baik-baik saja.
Aku tidak baik-baik saja, aku baik-baik saja.
Aku tidak baik-baik saja, aku baik-baik saja.
Aku tidak baik-baik saja, aku baik-baik saja.
Jeda panjang ini akan aku selesaikan. Bismillah, aku mulai kembali.
π