Selasa, 20 Desember 2016

Day 5 [7 April 2015]



Assalamualaikum Pokhara.... So hello from the west sideeee.....

Tepat waktu subuh dihari kelima, kita berkumpul di lobby hotel memulai hari ini dengan bismillah untuk tadabur alam sang maha Kaya. Dalam dingin, gelap remang cahaya jejeran lampu rumah-rumah, van kami membelah jalan sunyi menanjak perlahan menuju Sarangkot. Kira-kira sekitar setengah jam kita nyampe diparkiran Sarangkot View. Masih temaram, jalan kaki berbanjar menapaki jalanan berbatu kerikil, dan menanjak pelan-pelan. Memang tak sedingin subuh di Nagarkot kemarin, tapi lumayan ada kepulan asap tipis kalau hah huh hah huh (sambilnya ngos-ngos’an nanjak). Sesampai dianjungan view point nya, sudah banyak sekali turis-turis yang memadati sudut-sudut strategis melihat matahari terbit.




Karena masih gelap, kita duduk-duduk dulu daripada bingung milih tempat diantara mereka. Pada akhirnya ketika cahaya pagi pelan-pelan datang, rombongan kita pada mencar mengamankan posisi masing-masing. Miriplah kira-kira suasananya ngesunrise di Bromo. Aku, Idat, dan Zaki memilih naik setingkat lagi, dikira lebih lapang, ternyata lebih sempit dan berjejal. Ada satu bangku plastik kosong, gantian naiknya saking viewnya ketutup turis lainnya. Tetap kurang greget, ada pijakan pipa besi yang juga antri ama bule lainnya, kita bertiga sabar nunggu giliran. Zaki udah stand by jagain itu pipa, sambil pegang kameranya menunggu momen sunrise dan penampakan Annapurna beserta Fish tailnya.






Semua seolah khusyuk memandangi kemegahan deretan pegunungan Himalaya, meski jauh tapi terasa sangat dekat, lebih terpampang nyata daripada view di Nagarkot. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, puncak-puncak gunung berselimut salju yang tersamar oleh biru malam berganti kemerahan oleh hamburan sang surya. Penampakan penciptaan yang sempurna ini, menambah rindu pada sang pencipta yang maha Indah. Masya Allah. Mata para pengalana ini dimanjakan dengan degradasi warna alam yang tak dapat digambarkan dengan kata maupun lensa kamera, lebih menawan melebihi bibir keluarga Kardashian manapun.


 

credit : Zaki
Mahadaya cinta mahadaya cinta, siapa yang tega pemandangan seperti ini akan berganti kelabu kering jika kita tak menjaga kelestarian alam, acuh tak acuh terhadap isu pemanasan global, maupun mengesampingkan penghematan energi fosil. Sangat penting beramah pada lingkungan dimanapun bumi dipijak, alam beserta keindahannya adalah titipan yang harus dijaga bersama-sama, bersama-sama malu membiarkan penyampah berkeliaran tanpa mengedukasi tanpa menularkan rasa sayang terhadap kesehatan bumi tercinta (yang masih buang sampah sembarangan: kamu jahat ! (seriusan)).

credit : Zaki
credit : Zaki
Terbitnya matahari sudah sempurna, para turis perlahan-lahan berlalu. Semakin leluasa memandangi punggung-punggung berlapis salju nan gagah disana. Kita yang anak mudanya penasaran untuk pindah pijakan, menanjak sedikit lebih tinggi, ada satu rumah yang menyediakan rooftopnya buat nikmatin lukisan alam ini. Wooohooo.... macam seperti di pulau pribadi, cuma ada beberapa turis, kita fokus sama kamera masing-masing. Kemudian terjadilah pemotretan dadakan yang totalitas sekali, dengan baju rok panjang kak Ari yang seolah berkibar kemana-mana, berlatar si gagah Himalaya, Zaki yang cekrak cekrek, sisanya jungkir balik pegangin tiap ujung si rok biar kesannya melambai-lambai. Hahahaaa.... bikin lupa lagi disuhu dingin.

Kakak-kakak duduk manis
rooftop tetangga
dari rooftop tetangga

Kak Ari, credit : Zaki
Kak Mar
Dan I.D.A.T
Ancang-ancang
Hasilnya, credit : Zaki
Sunrise and a woman
Crew Merah Putih
Diantara Sunrise
Interaksi
Ternyata cukup lama keasikan sendiri, Bhikram dari bawah ngasih kode buat balik ke van. Kita lari-larian, ngumpul lagi sama yang lainnya. Sesampai dibawah, yang namanya juga pewe banget sama suasananya, serombongan ga ada yang beranjak. Sampai bikin Bhikram gelisah sendiri. Tapi memang, pemandangannya melekat didepan mata, mencuri sampai ke hati. Karena memang waktu kodratnya bergulir, dengan berat hati perlahan nurunin anak tangga. Kocaknya, baru beberapa anak tangga dilewati, ada pijakan beralas rumput hijau, pondokan kayu eksotis, dan masih berlatar spektakularnya fishtail, tanpa komando langsung sepakat jepret-jepret disini (Bhikram benar-benar pasrah).

Bumil dan pagi
Bunda Asma Nadia
Belum bisa move on
Sepanjang jalan setapak


Pondokan
Nemu spot baru lagi

Dari Spot lebih rendah
Benar-benar hanya tersisa rombongan kami yang masih disini bersama matahari yang mulai meninggi, Bhikram bilang turis lain udah pada cabut karena katanya kalau kesiangan ada jalan yang mau ditutup (entah buat nakut-nakutin atau beneran). Kak murni ngajak turun duluan, yang lain masih menyiapkan hati say goodbye Sarangkot viewpoint ini. Sesampai di anak tangga terakhir kita bedua disambut gukguk yang bikin keder sendiri. Hahahaa... what a beautiful morning...


Kak Murni melipir dari gukguk
Pintu Masuk




Fishtail-nya masih ngintip
Kak Siska 
Setelah semua duduk di van kesayangan ini, kita pasrah meninggalkan jejak dan kenangannya disini. Karena aku benar-benar jatuh cinta pada punggung-punggung gunung itu, sampai jauh tetap noleh kejendela belakang van. Aku tatap dan berharap untuk diijinkan nyampe menjejakan langkah disana, lebih dekat lebih lama (dan setelah baca postingan mbak solo traveler ke Nepal, yang baru saja pulang sehabis keliling sekalian nge-camp di gunung impian, semakin yakin bahwa tak akan lari gunung dikejar, asal usaha buat ngejarnya, aamiin). Yupiii, karena jadwal padat dan pada belum mandi, balik ke hotel dulu nge-charge tenaga dikit. Selama capeknya bikin bahagia, rasanya si kaki sangat bersahabat sepanjang perjalanan ini, tapi tetap ketir-ketir kalau disuruh mandi.

Sayounara suki na yama :*
Sambil makan sarapan yang tertunda, bunda Asma menawarkan paket Paralayang + Gopro cam senilai $100 dari temannya. Kita berminat tapi galau, ka Yuki antara pengen banget tapi ga bawa celana buat ngeparalayang, Kak Murni antara iya dan tidak, Aku yaa galau antara celana juga duit $100 yang ntar buat bekal main di Singapore ma Malaysia (cukup buat seminggu itu). Idat, Kak Ari, Kak Mar udah fix nyoba paralayang. Konfirm ke Bunda, dan langsung bayar buat booking kursi. Eh, ternyata sisa 4 kursi, jadilah aku (setelah merelakan dolar berharga, biar puasa di singapura hahahaa) memutuskan untuk ambil kursi ke-4 terbang dilangit Pokhara.

Kawasan Pokhara memang memiliki nuansa jaman dulu banget (menurutku loh yaa), sepanjang jalan menuju International Mountain Museum seolah mengingatkan tentang lapangan bola di Alabio (8 km dari Amuntai) tahun 96an atau sebelum 98. Sunyi tapi syahdu. Rumput hijau menghampar sesuka hati, tanpa jejalan rumah penduduk, pokoknya serasa jadi anak kecil lagi yang baru ketemu tempat bermain baru. Menyenangkan.

Diparkiran, kita bersiap bayar tiket masuk, per-orang 400 rupees untuk orang asing. Sambil menunggu Bhikram beli tiketnya, disamping loket ada informasi tentang para Sherpa yang bisa sukses dengan berbebagai profesi. Karena sekarang ini, Sherpa disinonimkan dengan pemandu pendakian/ porter, meski belum tentu berasal dari suku Sherpa. Padahal Sherpa sendiri adalah nama salah satu suku bangsa di Nepal dan Tibet yang hidup dilereng-lereng pegunungan Himalaya (sumber: wikipedia).

Bukan calo tiket
On the way
Dari loket menuju bangunan museum lumayan juga jalan kaki, dipertengahan jalur berdiri monumen untuk mengenang para pendaki yang gugur selama pendakian. Sedikit merinding memang, karena gunung manapun, puncak gunung bukanlah segalanya, tetapi kembali dengan selamat lah tujuan sesungguhnya. Respect.

Sepanjang jalan, berhias rumput hijau dan bunga warna-warni musim semi. Bikin gemes buat poto-poto. Keep focus kata Bhikram, nanti keburu tutup museumnya hahahaa. Dipintu masuk tersedia buku tamu, yang diisi oleh pengunjung dari berbagai negara. Posisi pintu masuk ada diatas, untuk menikmati museum ini kita dibuatkan jalur seolah menjelajahi pegunungan. Step pertama menuruni anak tangga menuju pajangan baju adat suku bangsa Nepal, beserta kerajinan tangan dan mengenal budaya mereka. Lanjut kearah replika dapur beserta alat masaknya, dan pajangan koleksi perangko. Sepanjang dinding museum berisikan informasi bagian-bagian gunung Everest beserta para pendaki yang berhasil menaklukan puncaknya. Banyak pula pendaki diantaranya yang harus menghembuskan nafas terakhir di gunung impian ini. Mayat pendaki yang telah gugur sulit untuk dibawa turun kembali, untuk feelingnya dapat dilihat di film Himalaya (Korea, 2015) yang mengangkat cerita para pendaki Korea Selatan yang berusaha mencari mayat rekannya yang dinyatakan hilang kontak ditengah pendakian. Juga difilm Everest (2015), yang bercerita tentang perjuangan para pendaki untuk meninggalkan jejak di puncaknya gunung tertinggi di dunia. Selain itu, di museum ini menginformasikan bahwa perubahan iklim global sangat mempengaruhi keindahan pegunungan yang memiliki topping salju. Ada juga pajangan sampah-sampah yang banyak ditemukan di gunung Everest, memprihatinkan memang tentang kesadaran membawa turun sampah kembali setelah pendakian.







Setelah putaran jalur berakhir, terdapat bioskop mini, pas dengan jam penayangannya, kita semua masuk dan memilih kursi masing-masing. Sebelumnya, kita liat-liatan dulu sambil senyum tipis. Ya, didalam bioskop mini ini terdapat jejeran kursi yang menghadap ke tivi tabung yang tidak terlalu besar. Kesannya seperti nonton bareng sinetron dirumah bapak Lurah, hehehee... Karena sungkan untuk keluar duluan, kita tunggu-tungguan siapa yang berdiri buat keluar. Ternyata perlu waktu lama untuk mengakhiri nonton film dokumenter ini, hehehehee.... (kocak moment). Tour museum pun berakhir, kita naik lagi menuju pintu keluar. Matahari sore masih dengan anggun menyinari, diarah jalan keluar ada replika puncak gunung Manaslu. Kak Murni ngajak kesana tapi karena letaknya agak jauh dari jalur jalan, jadinya cuma kita berdua yang nyoba ngedaki. Dengan dicat putih semua (ya namanya salju ya putih), silau juga sumpil curam sekali tanjakannya. Padahal cuma replika tapi kedernya udah berasa.



Kalau biasanya Bhikram yang nunggu rombongan, sekarang kita yang nunggu Bhikram ama Zaki. Lumayan lama menunggu mereka yang rupanya masih asiiiik explore museum. Perjalanan pun berlanjut pada destinasi Gupteshwor Mahadev Cave dan Air Terjun Devi. Jalan cukup lebar membentang, kita parkir dibahu jalan diantara van-van turis lainnya, sebelum keluar dari van seperti biasa Bhikram mengkoordinasi kita. Dia bilang, air terjun Devi sedang sedikit airnya, juga jalan menuju air terjunnya lumayan jauh. Takut kecewa kalau sudah sampai disana tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kemudian semua sepakat untuk skip Devi’s Falls. Bhikram juga bilang, jalur menuju Gupteshwor Mahadev Cave menurun jauh masuk ke perut bumi, mungkin akan cape, juga didalam goa nanti bakal gelap. Yang tidak ikut tunggu di mobil atau boleh liat-liat ditoko souvenir sekitar parkiran. Karena arah Goa Gupteshwor Mahadev diseberang jalan lebar ini, kita serombongan yang ikut ke sana nyeberang beriringan kayak poster The Beatles lagi nyeberang di zebra cross. Mumpung jalanannya sepi, kita ulangi lagi nyeberang buat dokumentasi, hehehee.... turis-turis bule ikut motretin kita. Dan sayangnya motretnya pakai kamera Bunda Asma, jadi tak ada foto buat diupload, hikz.


Disambut deretan toko-toko souvenir dari gerbang masuk sampai loket tiket, berasa syuting video klip Kal ho naa ho... Sembari nunggu Bhikram beli tiket masuk (100 rupees per-orang), kita nongkrong dulu dikios makanan ringan. Icip-icip snack Nepal, juga ice cream dan permennya. Yang juara rasa snacknya, rasa Masala Munch (bentuknya mirip twistko bumbu rempahnya tajem kecut) hehehee...  Benar kata Bhikram, dari langkah pertama sudah disambut anak tangga yang kecil-kecil melungker. Samar-samar dan semakin jelas terdengar hentakan gendang dan nyanyian atau puji-pujian, syahdu sekali, diiringi tarian sepasang kakek dan nenek yang berputar dan bertepuk tangan. Sungkan rasanya jika berlama-lama menatap dan mengarahkan lensa pada mereka yang beribadah. Cukup disimpan dalam memori ingatan untuk mengenang dan menceritakannya.









Tangga ini seperti tidak ada ujungnya, selain curam dan licin, kaki semakin gemetaran. Semakin turun semakin gelap, hanya diterangi bohlam lampu kuning temaram, saat memasuki goa kita disambut kandang sapi. Karena dibangun untuk tujuan wisata, kita diperbolehkan masuk ke terowongan kecil secara gratis. Juga boleh untuk menyumbang, dan mendapat segelas air susu. Pada 40 meter pertama didalam gua terdapat candi Siwa utama yang mana penggunaan kamera dilarang disini. Kita jalan memanjang beriringan pegangang tangan, karena jalanan kecil, lembab dan semakin licin. Sekarang sudah sampai dititik yang dalam diperut bumi, ada tangga besi yang kelihatannya tidak terlalu safety untuk dipijak. Biasanya disini dilintasi dan disambut suara air terjun yang mengalir dari atas tanah menuju perut bumi. Karena debit air sesuai musimnya, kita disambut celah-celah kosong menganga jalur aliran air. Didorong rasa penasaran, kita serombongan nyoba turun lebih kebawah melalui tangga yang mengkhawatirkan ini. Sangat gelap, penerangan bergantung pada cahaya matahari dari celah atas nan jauh. Tak ada foto, karena hasilnya blur dan too flashy, heheheee..... Dan ternyata, setelah itu naik tangga ini lebih mengketir-ketirkan hati. Dilanjut melewati lorong kecil tadi yang sekarang jadi menanjak. Juga rasanya kehabisan nafas untuk naik tangga melungker buat kembali ke atas bumi. Benar-benar melelahkan, luar biasa untuk kakak-kakak dan bunda yang saling menyemangati.


credit : Zaki

Sesampai di mobil, lega sekaliiiii.... Sebelum masuk mobil, liat ada yang jualan jajan semacam mie lidi dipinggir jalan, hahahaa berasa dikampung sendiri. Karena kecapean, kita skip penawaran dari Bhikram yang katanya dia mau ngasih bonus ngeguide ke World Peace Pagoda di dekat Phewa Lake kemarin. Eman tapi sudah habis tenaga. Dari jauh, liat papan nama hotel udah senang banget, mau guling-guling dikasur !

Eh tapi, hari ini terakhir di Pokhara, naroh barang bentar. Kita berlima mutusin mau nge-sunset dipinggiran Phewa Lake sekalian cari souvenir disepanjang jalan arah Phewa Lake kemarin. Sambil jalan kaki, nebak-nebak belokan arah ke jalan utama dari hotel, yang ternyata keliru, hahahaaa... jalan pelan-pelan, akhirnya nemu pertigaan dengan jalan utama. Tepat dipertigaan itu, ada abang jualan jus yang kayaknya fresh murni buah tanpa tambahan pemanis. Sebelum membeli, kudu harus tanya harga dulu yaa gaesss.... 100 rupees pergelas... kita pesan jus yang seratu rupees, dan milih buahnya, pas giliran zaki, si abang rekomenin jus pomegranate a.k.a delima, kita juga dikasih icip buliran buah delima segar. Jus nyaa enak, asli diperah bukan hasil blender, hehehee. Pas mau bayar, si abangnya ngeluarin kalkulator dan seperti ngitung bill-nya. Fix kena tipu. Hahahahaa.... Karena sudah diminum ya mau bagaimana, jus delima nan segar itu ternyata mahal punya (lupa ditagih berapa rupees hehehee). Kak Yuki ngebela diri dari si Abang, Abangnya ga ngalah ngototnya. Hikmahnya, selain nanya harga diawal, kudu dicatat yaa gaesss harga dealnya (berlaku di negara manapun), biar ga dinaikin harganya. Ikhlas ikhlas sambil jalan menjauh dari abangnya.
Jalanan dari Hotel
Jas Jus Berhadiah
Jus Delima, mahal hahahaa
Langsung jalan, good bye jus

Selain souvenir, disepanjang jalan banyak yang menawarkan pijat refleksi, tattoo, henna, dan makanan tentunya. Idat pengen banget pake henna (tapi sampai pulang, ga jadi nge-henna dan banyak ga jadinya hahahahaa). Untuk harga souvenir ternyata (baru disadari pas di Thamel, Kathmandu) di Pokhara lebih murah. Lumayan deh bedanya kalau beli banyak. Sepanjang jalan puas banget keluar masuk toko, beli ngeborong teh Masala khas Nepal, beli kartu, baju dan lain sebagainya (sayang sebagian barang mikirnya nanti beli di Thamel, yang akhirnya ga jadi beli). Sampai kelupaan kalau mentari mulai ilang, padahal niatnya nge-sunset dulu. Kita coba cari jalur menuju pinggiran Phewa Lake, ada pintasan tapi melalui cafe n resto yang nampak exclusive, sedangkan jalur umumnya masih jauh dan takut ga nemu. Dengan kekuatan kepepet nge-sunset (yang walaupun mentarinya udah rada tenggelam) kita berlima jalan cepat-cepat setengah lari melalui receptionist dan kursi-kursi tamu, yang juga kebetulan ada pertunjukan tarian. Woh, rasanya antara sungkan sama ya udah deh hari terakhir, mesti ngerasa sunset. Sesampai pinggiran danau, lega sekali. Meski suasana sudah sayup-sayup menyambut langit malam. Kak Mar bukan tipe yang pantang menyerah, diantara sisa cahaya, Kak Mar ngejar sunset sampe dekat tambatan perahu-perahu.




Blur, sambil lari-lari liat penari 

credit : Zaki

Pekat sudah sempurna, cahaya-cahaya lampu jejeran cafe dan pertokoan mengganti mentari (semacam suasana Kuta, Bali). Kita kembali ke jalan utama lewat jalur umum yang ternyata kecil (mirip gang). Karena belum makan malam, jadi niat nya beli mie ama jajanan dimini market gitu, tapi menimbang kehalalannya, jadi beli yang lain deh, heheheee... Mayan terasa nyut-nyut si kaki, pas arah jalan pulang (sambil tetep keluar masuk toko) nemu diskonan celana panjang yang ukurannya pas. Meski uang udah setipis kulit bawang, demi paralayang perlu totalitas (isi dompet). Di toko ini juga nemu satu-satunya slayer gambar bendera Nepal, beli ! Setelah itu kita jalannya slow kaya robot habis oli, habis duit jugag (Hahahaa). Dipertigaan tadi ketemu rombongan Kak Tati dan Bhikram mau jalan-jalan sekalian makan malam. Kita milih makan malam di hotel aja sudah, ga kuat buat balik lagi. Sampai di hotel Kak Yuki Kak Mar absen makan. Kita betiga doang makannya, yang akhirnya milih menu yang bisa dibagi tiga, biar irit.

Jus Banana, nasi putih, osengan (potonya siang apa malam ini ? Lupa !)
Hari ke-lima yang luar biasa panjang dan menakjubkan. Ada mimpi yang terwujud pun ada mimpi baru yang terlahir. Kalau fisik boleh lelah, maka rasa syukur jangan sampai lemah. Orang-orang boleh datang dan pergi, maka dengan rejeki jangan lupa berbagi.


What A Fivetastic Day ! Alhamdulillah.......

Juga :

Tidak ada komentar: