Rabu, 08 Juni 2016

Day 2 [4 April 2015]

Fresh Milk Man, Patan Durbar Square
Senyenyak tidur putri Keraton. Cek whatsapp Grup, udah pada ngumpul di rooftop buat sarapan. Selamat pagi Kathmandu… Udara sejuk, matahari hangat dan secangkir teh masala. Pilihan breakfast macam nasi kuning atau lontong berganti roti gandum dan kentang goreng. And magically nasi goreng take away tadi malam menemukan fungsinya pagi ini. Yaaa, takdirnya memang untuk dimakan. Meski dingin, irisan daun seledri rasa bawang yang menyengat dengan selamat disisihkan. Best breakfast ever. Entah, segala yang pertama disini menjadi yang terenak.

Nasi Goreng @rooftop of Pariwar B&B

Lanjut masuk kamar lagi, ambil barang, ngumpul di lobby dan menunggu jemputan. Hari ini jadwalnya ke Patan Durbar Square dan langsung menuju Nagarkot. Perjalanan ini didampingi Bhikram sebagai tour guidenya.

Bhikram pake baju coklat
Sepanjang jalan menuju Patan, Kathmandu terlihat manis dengan debu jalanan, tembok-tembok bata merah, gumpalan tali listrik yang sambung menyambung. Wangi tanah kering bertemu angin musim semi. Wajah-wajah yang lalu lalang beragam rupa. Benar-benar berwarna. Hidung mancung pun hidung pesek. Si putih, si kuning sampai si legam. Perempuannya dibalut sari dengan selendang setia menggantung dileher. Memang terik waktu itu, tapi suhunya tak sampai 25° C. Datanglah serombongan wanita-wanita bertutup kepala, Jilbab Traveler turun dari van. Yang saat itu memang cuma kita yang jilbaban. Semacam feeling berbeda memang.

Ada tiga anak kecil ini yang ngedeketin, somehow juga curiga, mungkin scam atau menawarkan dagangan atau minta rupee atau... Ternyataaa tidak, yang cewek bilang dia juga muslim, namanya Aisya… Dia nanya-nanya kenapa pake jilbab dll… Karena keterbatasan English, percakapan itu lebih banyah haha hihi nya khas anak kecil.

That's smile
Patan diketahui sebagai salah satu kota Buddha tertua. Pusat dari kedua agama Hindu dan Buddha dengan 136 bahals atau halaman dan 55 candi utama yang ada di Durbar Square (Wikipedia). Patan Durbar Square terletak di pusat kota Lalitpur di Nepal. Ini adalah salah satu dari tiga Kuadrat Durbar di Lembah Kathmandu, yang semuanya termasuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Salah satu daya tariknya adalah istana kerajaan kuno dimana Malla Kings of Lalitpur tinggal.

Depan Patan Durbar Square

Semakin berjalan ke arah Golden Temple, semakin banyak aamaa aamaa yang nawarin dagangannya. Dimana-mana pedagang seperti mereka ini paling gegeh paling kekeh ngikutin sampai depan pintu masuk Temple dan kembali. Ga tega sih, tapi aamaa harus tahu, yang pergi ini pun tak punya banyak rupee untuk gelang-gelang batu yang hampir sama dengan yang dijual di Martapura.

A hand full of necklaces
Sambutan asap dupa mengisyaratkan untuk tenang dalam berkunjung. Ada yang sembahyang, ada yang berdoa dan ada yang berkeliling memutar silinder doanya. Aku hanya musafir, pengunjung, yang menatap pada tiga lantai pagoda emas Lokeśvara. Dibangun pada abad kedua belas oleh Raja Bhaskar Varman. Di dalam lantai atas pagoda ada patung emas dan roda doa besar. Just Amazing… Kebayang pada abad itu pengorbanan apa yang sudah terjadi dalam proses pembangunannya. Apa dan bagaimana emas-emas itu didapat dan ditempa menjadi sedemikian indah dan rapi. Dan inilah pertama kali aku menyadari eksistensi silinder/roda doa. Menurut Wikipedia secara tradisional, tertulis mantra Om Mani Padme Hum  dalam bahasa Sansekerta di luar rodanya. Juga kadang-kadang bergambarkan Dakini, pelindung dan juga sangat sering berupa 8 simbol keberuntungan Ashtamangala. 

Golden Temple


Center of Temple


Memutar roda doa


Roda doa
Sudah hampir jam 12 siang. Beneran terik. Kemana suhu sejuk musim semi yang tadi menyapa ramah ? Mulai gerah. Jalanan batu bata merah dengan debu yang sudah tidak sungkan menyusup masuk diantara bulu hidung. Exhausted. Rombongan mulai gontai. Untungnya jalan bareng, ada teman ngobrol, diskusi, dan motoin. Sampailah didepan Patan Museum “The Museum Behind The Golden Door”. Yang baru disadari ga ada moto pintunya. Kurang ion emang udah. Antara pengen masuk atau ngga, dengan alasan harga tiketnya 400 rupee atau $5. Hmmm…. Emang rejeki anak solehah, tiket dibeliin ka Tati. And go go go..... sebagian masuk sebagian duduk aja.

Patan Durbar Square, sebelah kiri Patan Museum

Golden Door (Doornya lupa moto)
Ka Yuki (Blue), Ka Ari (Red Jeans), Ka Siska 

Tickets
Idat memproses informasi dari Mr. Bhikram
Di dalam Museum yang terdiri dari tiga lantai, mencangkup koleksi berharga dan sejarah panjang tentang Nepal. Kamera not allowed di museum ini. Pada lantai kedua, galeri tentang Hindu. Patung-patung Dewa Shiva, dan istrinya Parvati, juga patung Dewa Ganesha, Dewa Vishnu. Bhikram sebagai tour guide menjelaskan secara detail dan terus menjelaskan setiap artefak yang ada di sana. Ya karena masih roaming dengan English aksen Nepal, informasi berharga itu tak tertangkap ditelinga. Ditemani Idat yang sama-sama ga ngerti jadinya hehah hehoh bedua kalo diajak ngobrol ama Bhikram. Disepanjang lorongnya ada banyak jendela yang terbuka yang juga bisa dipakai untuk duduk-duduk. Jendela yang menghadap keluar menampilkan keindahan Patan Durbar Square dari lantai 2. Yang mengarah ke dalam menyajikan pucuk Keshav Narayan Temple.

Lorong (Foto curi-curi)
Teras
Pucuk Keshav Narayan Temple

Jendela dan Dunia
Terus naik ke lantai tiga, yang berisikan tentang Buddhism. Sebagai umat Buddha, berkali-kali Bhikram menyebutkan bahwa Siddharta Gautama adalah manusia, sama seperti kita. Mempunyai mata, telinga, sama persis. Manusia yang mencapai pencerahan sempurna. Buddha itu sendiri berartikan orang yang sadar, tercerahkan atau mencapai Dharmanya. Wish my English was better. Sampai dipenghujung lorong ada tangga naik ke loteng atas tempat lonceng besar dan view yang lebih tinggi. Naiknya tangga curam yang rada mengkhawitrkan untuk bunda Asih dan ka Tati. Btw, ka Tati hamil 6 bulan waktu itu. Dan tepuk tangan….. kita semua nyampe diatas sini. Ternyata tempat ini menjadi kenangan yang sangat berharga untuk melihat sekeliling Patan Durbar Square. Tanggal 25 April 2015, akibat gempa besar, hampir semuanya harus menyerah pada kekuatan alam.


Try to remember
Kenangan Patan Durbar Square before earthquake 


Lonceng Besar
Time to have lunch. Karena rencana langsung ke Nagarkot, diputuskan untuk makan didekat Patan Museum. Lagi-lagi lupa foto. Di café atau resto ini kita numpang sholat diantara celah kosong dan wudhu di toilet yang super sempit. Order makanan yang tak mengandung daging dan hal lainnya, kentang goreng, momo dan minuman yang udah lupa namanya atau emang cuma minum air putih. Terlupakan. Satu-satunya foto yang ada, cuma foto momo ini. Semacam pangsit yang isinya hmmm tak cocok dilidah (for me).

Momo
Recharged. Perjalanan panjang dimulai……..

Karena udah kenyang dan tunai kewajiban, saatnya menuju parkiran. Fortunately, sesampai diparkiran kita beriringan dengan iring-iringan pengantin. Ya, walaupun lumayan lama menunggunya, it just worth it. I let you to see this random pic…..

Parking Area
Iring-iringan Pengantin
Sepanjang Jalan (Mungkin Tamu Undangan Pengantin)
Lorong/Gang Antar Bangunan
Hmmm…. Van ini alhamdulillahnya AC lancar… duduknya pun sesuai usia. Idat paling muda duduk paling belakamg sama ka Ari jejer ama tas-tas koper. And me, mengamankan posisi, rada ga sopan sih ama bu dosen ka Marlindia, duduk anteng nyender dijendela. Yang ternyata posisi duduk ini memang tepat. Perjalanan ke Nagarakot ga kalah bikin pening ama naik Malang - Jombang.

Idat dan View Pasar dipinggir jalan raya
Before it, kita mampir dulu ke bandara buat ngambil bagasi yang kemarin ketinggalan di KL (kesalahan maskapai). Melihat Tribhuvan International Airport siang hari emang beda dari yang tadi malam. Lumayan besar dari luar, dan beberapa bulan kemudian di film Everest ada cuplikan bandara ini yang bikin nostalgic banget. So NEPAL ! Liat Bhikram lari-lari dari jauh bawa troli isi 3 koper cantik yang ternyata bikin bahagia. Sefotong ingatan senyum Bhikram saat disanjung-sanjung bak hero become sweet memory now.

Welcome Gate
Jarak Kathmandu ke Nagarkot hanya 32 km. Tapi jalannya menanjak dan menanjak. Nagarkot terletak 7.200 kaki diatas permukaan laut. Jalan melintasi perkotaan kemudian memasuki pedesaan, semakin sepi, suasana semakin sama dengan Indonesia zaman dulu. Sampai disuatu tanjakan ada polisi siaga, dan dia tampan mempesona. Wajah kaukasia. Dan macam jackpot, dia tersenyum dibalik jendela van ini ! Kita bersoooorak ! Serempak ! Congrats Jilbab Traveler ! Kita kompak…..

Bridge crossers
Blur is better
Bunga ditepi Jalan (?)
Pertigaan
Semakin menanjak, hujan yang tadi rintik berubah ganas. Jalanan yang berkelok, kiri tebing kanan jurang. Dihujan lebat, karena ga ada kresek, van berhenti. Ka Tati yang sepertinya sudah menahan mualnya dari tadi, berbasah ria has been spewing her momos…… Bertahanlah !

Perjalanan serasa sangat panjang… waktu menunjukan jam 18.00 kurang. Masih diiringi hujan, dan itu dingin sekali, kita ke lobby Hotel View Point. Guesssss….. mati lampu. Sempurna. Cahaya redup menuju senja masih berbaik hati to show pemandangan indah dan bunga warna-warni yang basah.

Depan Kamar 217
Menuju kamar yang menawarkan kasur dan kehangatan. Terlalu ekspektasi akibat mati lampu. Realitanya karpet kamar lembab, begitu juga selimut dan kasurnya. Freeze. Mau wudhu, air es yang keluar dari keran. Nyalain lilin putih pake korek api kayu, aaaah feelingnya macam kembali ke era Hellen Keller. Kemudian hujan sempat berhenti, kita dipanggil naik ke atas ngejar sunset. But kita kehilangan sunset dibalik mendung. That’s okay. Mungkin disimpen untuk kunjungan selanjutnya. Dan ya karena kedinginan, iklhas saat malam benar-benar datang. Di ruang makan kita ngumpul, minum teh hangat duduk anteng main hape karena nemu wifi. Sekalian nunggu dinner.

Abaikan (dibuang sayang)
Karena nemu nasi and free…. semangat ambil oseng sayur yang so yummy yang ternyata pahitnya ngalahin kates. What a day !

Sayur ijo nya pahittttt
Hari ke-2 selesai. Ditutup dengan kedinginan dibawah selimut lembab. Good Night Nagarkot !

1 komentar:

tati yuliati haulani mengatakan...

Nice 😃 Aku jd throwback ke masa hamil itu lagi haha