Kathmandu Peak, credit : Asma Nadia |
Ohayou Gozaimasuuuuuu.....
Pagi kedelapan akhirnya tiba menjemput untuk segera packing
dan siap-siap sarapan terakhir bersama roti bakar, jus buah, sosis goreng,
oseng kentang dan buah anggur hijau. Rasanya sudah sangat akrab sekali dengan
ruang makan ini. Yang pertama kali bertemunya saat very very late dinner,
dengan menu steak daging sapi dan nasi gorengnya. Cukup lama kita menikmati
sarapan sekalian menunggu waktu pertokoan kawasanan Thamel kembali buka. Disamping
hotel sedang ada pembangunan gedung baru, yang uniknya diantara pekerjanya
adalah perempuan. Dengan cekatan mereka memasukan batu ke kereta angkut,
caranya pun unik dengan sekop yang diikat tali tambang, salah satunya memegang
tali, sehingga membuat mudah yang satunya untuk menyekop bebatuan. Berjalan
sedikit melewati gang-gang kecil dengan suasana yang khas sekali, lagi-lagi
mampir ke toko souvenir, di toko ini kita ketemu dengan turis dari China yang
baru aja turun gunung. Kulit mereka terlihat kusam dan kering, jelas saja
dipegunungan yang dingin bersalju, sinar matahari yang menyengat tidak berasa
membakar kulit. Salah satunya bilang perjalanan cukup melelahkan dan memang
perlu semangat yang pantang mundur untuk mencapai tujuan trekking. Hati serasa
semakin tertantang pengen nyoba mendaki pegunungan nan megah itu, selain budget
juga kudu nyiapin fisik secara totalitas biar gak keok ditengah pendakian.
Bumil yang dari kemarin pengen banget nyoba beli buah-buahan
segar yang banyak dijual sepanjang jalan, juga akhirnya kesampaian. Kalau tidak
salah ingat, dibuku bu Siti Fadilah, beliau pernah nulis tentang negara India
yang tidak mengimpor buah dari luar negeri. Sehingga buahan-buahan yang ada di
sana seragam dan kurang menarik secara tampilannya, namun bu Siti sangat
apresiasi dengan peraturan pemerintah tentang hal itu. Karena India bisa
berdaulat dengan hasil kebun mereka sendiri, tidak seperti negara kita yang
kebanjiran buah impor yang bikin jatuh pamor buah lokal. Dan mungkin di Nepal
pun seperti India, karena rata-rata yang dijual adalah buah lokal yang mungkin
hasil kebun sendiri (nasional).
Hari masih berasa sejuk, jalanan pun masih lengang, lebih
leluasa untuk jalan kaki dan keluar-masuk toko. Tak lama banyak anak-anak kecil
yang menjajakan gelang mainan yang bisa dibentuk 12 variasi. Gelangnya
sederhana berhias manik-manik, dengan ahlinya mereka mencontohkan perubahan
bentuk si gelang meski pake english yang terbatas bernada Nepali. Seperti amma-amma
kemarin-kemarin, mereka juga kekeh menawarkan dagangannya, dan nempel sekali
(dan targetnya selalu [aku]). Walaupun sudah ditolak beberapa kali, akhirnya
bumil balik badan bayarin gelang-gelang ajaib itu. Dua kali bumil menyelamatkan
si bokek ini dari kepungan pembisnis lokal selama jalan-jalan di Kathmandu.
Gelang Ajaib |
Setelah matahari sudah agak tinggi, menandakan waktu juhur
akan tiba, kita balik ke hotel dan check out. Barang belanjaan yang baru dibeli
dijejal-jejalkan diantara koper yang udah obesitas. Karena aku pengen bawain
orang rumah snack Kurkure, jadi balik lagi ke toko kelontong di depan hotel.
Sebelumnya, bunda Asma sudah mewanti-wanti untuk aware kalau beli-beli makanan
harus cek lagi tanggalan expirednya. Ternyata benar, banyak snack-snack yang
ada dikelontong sini sudah lewat tanggalannya. Jadi kudu milah-milah dulu
sebelum membeli. Cukup ribet ngepack snack Masala ini, akhirnya dipinjemin
bumil tas ransel yang muat menampung semuanya. Packing kilat pun selesai, semua
barang sudah dikumpulin jadi satu di lobby hotel. Karena sudah Juhur, kita mau
nyoba sholat di Masjid Jame Kathmandu yang berdekatan dengan Garden of Dreams
kemarin. Untuk menghemat energi dan menghabiskan sisa rupees, kita semua naik
taksi, satu taksi naik berempat. Abang taksinya pun tak pakai lama dan harganya
sesuai mengantarkan kami ke Mesjid. Kebetulan hari ini adalah hari Jumat, dan
pas kita nyampe sholat Jumat baru dimulai. Mesjid sangat penuh, sampai barisan
sholatnya halaman mesjid. Sudah kepalang tanggung masuk diparkiran, kita
serombongan jalan pelan-pelan diantara motor-motor yang terparkir menuju
beranda paling ujung. Sesampai disana, bunda Asih kebingungan karena mesjid ini
bukan seperti Mesjid Jame yang dikunjungi beliau kemarin. Kita pun masih
adaptasi dengan kesungkanan berbaur dengan jamaah mesjid yang laki-laki semua.
Sedangkan estimasi waktu disini Cuma sebentar, akhirnya setelah sholat Jumat
selesai kita merapat buat gantian berwudhu diantara pancuran yang masih banyak
jamaah lalu lalang. Kemudian sebelum kita wudhu, ada bapak-bapak yang
sepertinya takmir mesjid yang mengarahkan kita ke beranda bawah. Ada pintu
putih yang terkunci rapat, yang ternyata kamar mandi, Beliau bilang “silahkan
biar berwudhunya lebih nyaman dan tertutup”. Alhamdulillah sekali pertolongan
bapak ini, yang sangat memperhatikan dan menjaga saudarinya. Sholat pun lancar
diantara sajadah panjang yang berlapis tikar jerami. Karena dikejar waktu, kita
bergegas untuk kembali ke Hotel, dipintu keluar Mesjid kita disambut anak-anak
kecil dan wanita yang menengadah dengan gelas kosong. Owh, kemiskinan dimanapun
kamu berada dia berwajah sama. Satu kali memberi kemudian diserbu dari segala
sisi. Menunggu taksi lewat pun lumayan lama, anak-anak kecil tadi enggan
beranjak. Kemudian ada seorang bapak-bapak yang menegur anak-anak kecil ini dan
perlahan menjauh sendiri.
TAXI ! TEKSI ! Hahahahaa.... kita naik taksi dengan formasi
yang sama. Selepas menginjak gas, disamping jendela terpampang nyata berdiri
Ghantaghar (Tower Jam) kemudian sebelahnya terlihat pintu gerbang Mesjid Jamee.
Ternyata, ada dua Mesjid dan itu berdekatan dan sejajar. Mesjid yang tadi kita
kunjungi namanya Kashmir Taquiya terletak dibagian utara, mesjid ini dibangun
oleh orang-orang Kashmir yang menetap di lembah Kathmandu semasa periode Malla.
Sedangkan posisi Mesjid Jamee diarah selatan. Setelah kejadian gempa dahsyat di
Nepal lalu (25 April 2015), kedua mesjid ini tetap berdiri utuh diantara
bangunan yang lainnya.
Clock Tower |
Jalanan semakin padat, mungkin seolah enggan melepas kami
pulang ke tanah air. Dari dalam taksi mematri kuat ingatan atas keindahan
Kathmandu beserta keruwetan jalur kabel listriknya. Mengamati lekat-lekat wajah
yang berganti berlalu-lalang disepanjang jalan ini, karena nanti mungkin akan
rindu dengan suasananya.
Jam tangan sudah menunjukan waktu sore, dan saatnya perpisahan. Sebelum menaroh koper-koper ke bagasi van, sebelumnya kita semua serah terima sertifikat tour dan selendang kain Nepal. Yang diserahkan langsung oleh pemilik tour & travel (lupa nama beliau) dan kembali bertemu Bhikram. Senang dan haru jadi satu, momen ini diabadikan dalam foto bersama.
credit : WA grup |
Ternyata dapat bonus dari Bhikram, karena masih ada tersisa
waktu sebelum ke bandara, kita mampir dulu ke Swayambunath atau dikenal sebagai
Kuil Monyet (The Monkey Temple). Swayambhunath merupakan sebuah komplek
peribadatan kuno yang berdiri di atas bukit Kathmandu Valley. Kuil ini juga
disebut-sebut sebagai kuil paling suci diantara situs peribadatan Buddha di
Nepal. Tiket masuknya sebesar 200 rupees. Seperti biasa, Bhikram menyarankan
kalau sudah lelah atau tak kuat nanjak lebih baik menunggu di mobil saja. Bumil
dan bunda Asih beserta kak Yuki skip main kesini. Ada dua jalur untuk masuk ke
kuil ini, yaitu sebuah tangga yang berjumlah 365 anak tangga atau melewati
jalur yang bisa dilewati oleh mobil. Karena kita berada dijalur masuk yang
kedua, pintu masuk selatan ini cukup lumayan juga menaiki anak tangganya
meskipun tak sebanyak anak tangga jalur masuk sebelah timur.
credit : WA Grup |
Setelah tanjakan tangga panjang selesai dilewati, kita semua
ngos-ngos’an dan memilih untuk duduk rehat sejenak. Dalilah, latarnya bagus
untuk poto-poto, sekalian ada ide buat video promosi trip bareng bunda Asma ke
India 2016. Dan dalilah keasikan syuting dadakan sampai-sampai lewat waktu,
padahal belum nyampe puncaknya.
credit : WA Grup |
Matahari sudah semakin menjingga, bulat kecil
merona. Bertemulah kita dengan stupa Swayambhunath yang merupakan pusat dari
komplek situs disini. Pada stupa ini terdapat sepasang mata disetiap sudutnya. Yang
bisa diartikan sebagai kebijaksanaan dan rasa kasih sayang, dibawah setiap
pasang mata ada mata ketiga. Mata dipercaya berfungsi memancarkan sinar kosmik
kepada makhluk-makhluk surgawi yang memanggil mereka untuk turun ke bumi,
bergabung bersama Buddha yang sedang berkhotbah.
Hasil poto disini harap dimaklumi ketidak sempurnaannya,
karena hanya menggunakan kamera ponsel dan nyesal juga ninggalin kamera di
mobil. Memang banyak monyet disekitaran kuil ini, yang sepertinya sudah akrab
dengan manusia. Stupa Swayambhunath ini sama megah dan menakjubkannya dengan
stupa Boudhanath, penuh dengan unsur spritualitas tinggi. Suasananya pun sejuk
dan menonjolkan ke-khas-an Kathmandu itu sendiri, kita bisa melihat seluruh
kota Kathmandu dari ketinggian ini. Dan pada gempa hebat lalu, stupa ini pun
juga harus menyerah dan diperlukan renovasi yang besar.
credit : Asma Nadia |
credit : Asma Nadia |
Namanya juga turis dan ini hari terakhir kita di Kathmandu,
setiap sudutnya kita sempat-sempatin buat poto. Ketika melihat ke arah barat,
matahari perlahan turun dengan anggunnya. Waktu yang tepat untuk poto siluet !
Masih saja lupa waktu, malah bergantian poto bersama matahari senja. Handphone
bunda Asma pun berdering, panggilan masuk dari Bhikram menandakan sudah lewat
batas waktu yang disepakati.
credit : Zaki |
credit : Zaki |
Dengan satu komando, kita semua balik badan menuju
tangga panjang tadi. Kekuatan kepepet menambah laju langkah menyusuri turun
anak tangga. Diujung anak tangga paling bawah terlihat ada warga lokal yang
lagi makan bersama, kalau ditempat kita mungkin semacam acara “syukuran”.
Hampir saja membuat fokus kita terbagi, Bhikram sudah memanggil-manggil dari
kejauhan. Namun beberapa langkah dari anak tangga, terdapat kolam perdamaian (
World Peace Pound). Yang sebenarnya dari pintu masuk kita sudah disambut kolam
ini tapi belum ngeh keberadaannya. Ditengah kolam ada patung Buddha yang
berdiri diatas bunga teratai, dan terdapat guci didekat kaki sang Buddha. Konon
katanya bagi sesiapa yang melempar koin dan berhasil masuk ke dalam guci,
permohonannya akan terkabul. Kebetulan pas kita lewat para pemuda lokal sedang mengadu
permohonannya dengan melempar koin. Baru saja mau berhenti sebentar melihat kegiatan
mereka, kak Yuki dengan wajah cemasnya sudah menjemput kami agar segera
bergegas kembali ke mobil.
Menurut informasi, semakin malam jalanan akan semakin macet.
Takut terlambat nyampe ke bandaranya. Penerbangan kita jam 21.00 waktu Nepal,
dan harus berada dibandara dua jam sebelumnya. Sedangkan waktu sudah menunjukan
18.30, benar-benar sangat mepet dan bikin kita semua deg-deg an. Untungnya,
kita semua sudah check-in boarding pass online tadi pagi. Jadi sampai bandara
tinggal drop bagasi, pun dengan terburu-buru saying farewell untuk Bhikram dari
kejauhan. Kita lanjut ke arah bagian imigrasi. Bunda Asma sangat khawatir
dengan tas carrier kak Ari yang nampak berat dan melebihi batas maksimal barang
bawaan ke kabin. Alhamdulillahnya tidak ada penimbangan berat tas kabin, semua
lancar dan lolos proses imigrasinya, waktu sudah hampir jam 20.00. Kita niatnya
mau sholat isya dulu disini, mencari space kosong dipojokan. Dan tidak ada
tempat kosong. Bandara ini benar-benar penuh dengan manusia yang beragam macam.
Sampai bangku kosong untuk duduk pun susah didapat. Sehingga wajar sekali
toilet nya berasa di terminal antar-kabupaten yang tidak terurus, no water, dan
menyengat. Belum selesai perburuan bangku kosong, terdengar panggilan untuk
penerbangan kami menuju Kuala Lumpur. Tidak perlu aba-aba, antrian ke ruang
tunggu langsung mengular panjang. Kita satu rombongan ambil posisi
masing-masing, tenggelam diantara bule-bule berbadan besar. Benar saja, setelah
melewati pintu pengecekan boarding pass, ruang tunggu yang sempit ini tak mampu
menampung semuanya. Rombongan kita terselip ditengah-tengah ruangan, dan
alhamdulillahnya didepan kita adalah pintu keluar menuju pesawat. Jadi kita
serombongan langsung pasang badan berbaris mengarah ke pintu. Tiba-tiba ada
petugas keamanan wanita yang mengecek kami kembali, ternyata doi mencari bumil,
untuk diprioritaskan masuk pesawat.
Ketepatan posisi antri memberikan keuntungan masuk ke pesawat
duluan. Kali ini tempat duduk kami berjejer, tidak terpisah-pisah. Setelah
beres pengaturan tas dikabin, menyandarkan bahu dikursi adalah kenikmatan yang
luar biasa. Langsung rasa lelah seharian jalan-jalan menjalari sendi-sendi yang
biasanya tabah menemani aktifitas sehari-hari. Wah, finally kita sudah di
pesawat yang menuju ke bumi pertiwi. Lampu pun dipadamkan, saatnya untuk take
off. Dari jendela pesawat nampak berbinar cahaya Kathmandu seolah melambaikan
tangannya salam perpisahan. Posisi peswat pun semakin meninggi dan menjauh,
selamat tinggal Nepal, sampai jumpa kembali.
Sebelum berpindah hari, pramugari membagikan kotak makanan
bagi penumpang yang telah memesan online. Tepat seperti penerbangan berangkat
sebelumnya, aku tidak membeli paketan apapun untuk dimakan. Dan duduk diantara
kak Tati dan kak Mar yang khusyuk dengan makanannya, hmmmm hati pilu, perut
lapar, dan tak berdaya. Namun, rejeki sudah diatur Tuhan, bumil tidak terlalu
cocok dengan menunya dan dihibahkannya lah nasi lemak uncle (apa gitu namanya)
ke atas meja kosongku. Bak nemu berlian ditumpukan jerami, senang sekali
rasanya (sekaligus sungkan banget sama dedek bayi yang emaknya makan sedikit
malam ini). “Maka nikmat mana yang kamu dustakan ?”
– Alhamdulillah-
फेरि भेटौला (pheri bhetaula) !
See you Again !
1 komentar:
Pipiiiiiin...baca ini kok haru akutu....ingat semua perjalanan kita.detail!!
Posting Komentar