Assalamualaikum Pokhara.... So hello from the west
sideeee.....
Tepat waktu subuh dihari kelima, kita berkumpul di lobby
hotel memulai hari ini dengan bismillah untuk tadabur alam sang maha Kaya.
Dalam dingin, gelap remang cahaya jejeran lampu rumah-rumah, van kami membelah
jalan sunyi menanjak perlahan menuju Sarangkot. Kira-kira sekitar setengah jam
kita nyampe diparkiran Sarangkot View. Masih temaram, jalan kaki berbanjar
menapaki jalanan berbatu kerikil, dan menanjak pelan-pelan. Memang tak sedingin
subuh di Nagarkot kemarin, tapi lumayan ada kepulan asap tipis kalau hah huh
hah huh (sambilnya ngos-ngos’an nanjak). Sesampai dianjungan view point nya,
sudah banyak sekali turis-turis yang memadati sudut-sudut strategis melihat
matahari terbit.
Karena masih gelap, kita duduk-duduk dulu daripada bingung
milih tempat diantara mereka. Pada akhirnya ketika cahaya pagi pelan-pelan
datang, rombongan kita pada mencar mengamankan posisi masing-masing. Miriplah
kira-kira suasananya ngesunrise di Bromo. Aku, Idat, dan Zaki memilih naik
setingkat lagi, dikira lebih lapang, ternyata lebih sempit dan berjejal. Ada
satu bangku plastik kosong, gantian naiknya saking viewnya ketutup turis
lainnya. Tetap kurang greget, ada pijakan pipa besi yang juga antri ama bule
lainnya, kita bertiga sabar nunggu giliran. Zaki udah stand by jagain itu pipa,
sambil pegang kameranya menunggu momen sunrise dan penampakan Annapurna beserta
Fish tailnya.
Semua seolah khusyuk memandangi kemegahan deretan pegunungan
Himalaya, meski jauh tapi terasa sangat dekat, lebih terpampang nyata daripada
view di Nagarkot. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, puncak-puncak gunung
berselimut salju yang tersamar oleh biru malam berganti kemerahan oleh hamburan
sang surya. Penampakan penciptaan yang sempurna ini, menambah rindu pada sang
pencipta yang maha Indah. Masya Allah. Mata para pengalana ini dimanjakan
dengan degradasi warna alam yang tak dapat digambarkan dengan kata maupun lensa
kamera, lebih menawan melebihi bibir keluarga Kardashian manapun.
|
credit : Zaki |
Mahadaya
cinta mahadaya cinta, siapa yang tega pemandangan seperti ini akan berganti
kelabu kering jika kita tak menjaga kelestarian alam, acuh tak acuh terhadap
isu pemanasan global, maupun mengesampingkan penghematan energi fosil. Sangat
penting beramah pada lingkungan dimanapun bumi dipijak, alam beserta
keindahannya adalah titipan yang harus dijaga bersama-sama, bersama-sama malu
membiarkan penyampah berkeliaran tanpa mengedukasi tanpa menularkan rasa sayang
terhadap kesehatan bumi tercinta (yang masih buang sampah sembarangan: kamu
jahat ! (seriusan)).
|
credit : Zaki |
|
credit : Zaki |
Terbitnya matahari sudah sempurna, para turis perlahan-lahan
berlalu. Semakin leluasa memandangi punggung-punggung berlapis salju nan gagah
disana. Kita yang anak mudanya penasaran untuk pindah pijakan, menanjak sedikit
lebih tinggi, ada satu rumah yang menyediakan rooftopnya buat nikmatin lukisan
alam ini. Wooohooo.... macam seperti di pulau pribadi, cuma ada beberapa turis,
kita fokus sama kamera masing-masing. Kemudian terjadilah pemotretan dadakan
yang totalitas sekali, dengan baju rok panjang kak Ari yang seolah berkibar
kemana-mana, berlatar si gagah Himalaya, Zaki yang cekrak cekrek, sisanya
jungkir balik pegangin tiap ujung si rok biar kesannya melambai-lambai.
Hahahaaa.... bikin lupa lagi disuhu dingin.
|
Kakak-kakak duduk manis |
|
rooftop tetangga |
|
dari rooftop tetangga |
|
Kak Ari, credit : Zaki |
|
Kak Mar |
|
Dan I.D.A.T |
|
Ancang-ancang |
|
Hasilnya, credit : Zaki |
|
Sunrise and a woman |
|
Crew Merah Putih |
|
Diantara Sunrise |
|
Interaksi |
Ternyata cukup lama keasikan sendiri, Bhikram dari bawah
ngasih kode buat balik ke van. Kita lari-larian, ngumpul lagi sama yang
lainnya. Sesampai dibawah, yang namanya juga pewe banget sama suasananya,
serombongan ga ada yang beranjak. Sampai bikin Bhikram gelisah sendiri. Tapi
memang, pemandangannya melekat didepan mata, mencuri sampai ke hati. Karena
memang waktu kodratnya bergulir, dengan berat hati perlahan nurunin anak tangga.
Kocaknya, baru beberapa anak tangga dilewati, ada pijakan beralas rumput hijau,
pondokan kayu eksotis, dan masih berlatar spektakularnya fishtail, tanpa
komando langsung sepakat jepret-jepret disini (Bhikram benar-benar pasrah).
|
Kak Murni melipir dari gukguk |
|
Pintu Masuk |
|
Fishtail-nya masih ngintip |
|
Kak Siska |
Setelah semua duduk di van kesayangan ini, kita pasrah
meninggalkan jejak dan kenangannya disini. Karena aku benar-benar jatuh cinta
pada punggung-punggung gunung itu, sampai jauh tetap noleh kejendela belakang
van. Aku tatap dan berharap untuk diijinkan nyampe menjejakan langkah disana,
lebih dekat lebih lama (dan setelah baca postingan mbak solo traveler ke Nepal,
yang baru saja pulang sehabis keliling sekalian nge-camp di gunung impian,
semakin yakin bahwa tak akan lari gunung dikejar, asal usaha buat ngejarnya,
aamiin). Yupiii, karena jadwal padat dan pada belum mandi, balik ke hotel dulu
nge-charge tenaga dikit. Selama capeknya bikin bahagia, rasanya si kaki sangat
bersahabat sepanjang perjalanan ini, tapi tetap ketir-ketir kalau disuruh
mandi.
|
Sayounara suki na yama :* |
Sambil makan sarapan yang tertunda, bunda Asma menawarkan
paket Paralayang + Gopro cam senilai $100 dari temannya. Kita berminat tapi
galau, ka Yuki antara pengen banget tapi ga bawa celana buat ngeparalayang, Kak
Murni antara iya dan tidak, Aku yaa galau antara celana juga duit $100 yang
ntar buat bekal main di Singapore ma Malaysia (cukup buat seminggu itu). Idat,
Kak Ari, Kak Mar udah fix nyoba paralayang. Konfirm ke Bunda, dan langsung
bayar buat booking kursi. Eh, ternyata sisa 4 kursi, jadilah aku (setelah
merelakan dolar berharga, biar puasa di singapura hahahaa) memutuskan untuk
ambil kursi ke-4 terbang dilangit Pokhara.
Kawasan Pokhara memang memiliki nuansa jaman dulu banget
(menurutku loh yaa), sepanjang jalan menuju International Mountain Museum
seolah mengingatkan tentang lapangan bola di Alabio (8 km dari Amuntai) tahun
96an atau sebelum 98. Sunyi tapi syahdu. Rumput hijau menghampar sesuka hati,
tanpa jejalan rumah penduduk, pokoknya serasa jadi anak kecil lagi yang baru
ketemu tempat bermain baru. Menyenangkan.
Diparkiran, kita bersiap bayar tiket masuk, per-orang 400
rupees untuk orang asing. Sambil menunggu Bhikram beli tiketnya, disamping
loket ada informasi tentang para Sherpa yang bisa sukses dengan berbebagai
profesi. Karena sekarang ini, Sherpa disinonimkan dengan pemandu pendakian/
porter, meski belum tentu berasal dari suku Sherpa. Padahal Sherpa sendiri
adalah nama salah satu suku bangsa di Nepal dan Tibet yang hidup
dilereng-lereng pegunungan Himalaya (sumber: wikipedia).
|
Bukan calo tiket |
|
On the way |
Dari loket menuju bangunan museum lumayan juga jalan kaki,
dipertengahan jalur berdiri monumen untuk mengenang para pendaki yang gugur
selama pendakian. Sedikit merinding memang, karena gunung manapun, puncak
gunung bukanlah segalanya, tetapi kembali dengan selamat lah tujuan
sesungguhnya. Respect.
Sepanjang jalan, berhias rumput hijau dan bunga warna-warni
musim semi. Bikin gemes buat poto-poto. Keep focus kata Bhikram, nanti keburu
tutup museumnya hahahaa. Dipintu masuk tersedia buku tamu, yang diisi oleh
pengunjung dari berbagai negara. Posisi pintu masuk ada diatas, untuk menikmati
museum ini kita dibuatkan jalur seolah menjelajahi pegunungan. Step pertama
menuruni anak tangga menuju pajangan baju adat suku bangsa Nepal, beserta
kerajinan tangan dan mengenal budaya mereka. Lanjut kearah replika dapur
beserta alat masaknya, dan pajangan koleksi perangko. Sepanjang dinding museum
berisikan informasi bagian-bagian gunung Everest beserta para pendaki yang
berhasil menaklukan puncaknya. Banyak pula pendaki diantaranya yang harus
menghembuskan nafas terakhir di gunung impian ini. Mayat pendaki yang telah
gugur sulit untuk dibawa turun kembali, untuk feelingnya dapat dilihat di film
Himalaya (Korea, 2015) yang mengangkat cerita para pendaki Korea Selatan yang
berusaha mencari mayat rekannya yang dinyatakan hilang kontak ditengah
pendakian. Juga difilm Everest (2015), yang bercerita tentang perjuangan para
pendaki untuk meninggalkan jejak di puncaknya gunung tertinggi di dunia. Selain
itu, di museum ini menginformasikan bahwa perubahan iklim global sangat
mempengaruhi keindahan pegunungan yang memiliki topping salju. Ada juga
pajangan sampah-sampah yang banyak ditemukan di gunung Everest, memprihatinkan
memang tentang kesadaran membawa turun sampah kembali setelah pendakian.
Setelah putaran jalur berakhir, terdapat bioskop mini, pas
dengan jam penayangannya, kita semua masuk dan memilih kursi masing-masing.
Sebelumnya, kita liat-liatan dulu sambil senyum tipis. Ya, didalam bioskop mini
ini terdapat jejeran kursi yang menghadap ke tivi tabung yang tidak terlalu
besar. Kesannya seperti nonton bareng sinetron dirumah bapak Lurah, hehehee...
Karena sungkan untuk keluar duluan, kita tunggu-tungguan siapa yang berdiri
buat keluar. Ternyata perlu waktu lama untuk mengakhiri nonton film dokumenter
ini, hehehehee.... (kocak moment). Tour museum pun berakhir, kita naik lagi
menuju pintu keluar. Matahari sore masih dengan anggun menyinari, diarah jalan
keluar ada replika puncak gunung Manaslu. Kak Murni ngajak kesana tapi karena
letaknya agak jauh dari jalur jalan, jadinya cuma kita berdua yang nyoba
ngedaki. Dengan dicat putih semua (ya namanya salju ya putih), silau juga
sumpil curam sekali tanjakannya. Padahal cuma replika tapi kedernya udah
berasa.
Kalau biasanya Bhikram yang nunggu rombongan, sekarang kita
yang nunggu Bhikram ama Zaki. Lumayan lama menunggu mereka yang rupanya masih
asiiiik explore museum. Perjalanan pun berlanjut pada destinasi Gupteshwor
Mahadev Cave dan Air Terjun Devi. Jalan cukup lebar membentang, kita parkir
dibahu jalan diantara van-van turis lainnya, sebelum keluar dari van seperti
biasa Bhikram mengkoordinasi kita. Dia bilang, air terjun Devi sedang sedikit
airnya, juga jalan menuju air terjunnya lumayan jauh. Takut kecewa kalau sudah
sampai disana tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kemudian semua sepakat untuk
skip Devi’s Falls. Bhikram juga bilang, jalur menuju Gupteshwor Mahadev Cave
menurun jauh masuk ke perut bumi, mungkin akan cape, juga didalam goa nanti
bakal gelap. Yang tidak ikut tunggu di mobil atau boleh liat-liat ditoko
souvenir sekitar parkiran. Karena arah Goa Gupteshwor Mahadev diseberang jalan
lebar ini, kita serombongan yang ikut ke sana nyeberang beriringan kayak poster
The Beatles lagi nyeberang di zebra cross. Mumpung jalanannya sepi, kita ulangi
lagi nyeberang buat dokumentasi, hehehee.... turis-turis bule ikut motretin
kita. Dan sayangnya motretnya pakai kamera Bunda Asma, jadi tak ada foto buat
diupload, hikz.
Disambut deretan toko-toko souvenir dari gerbang masuk
sampai loket tiket, berasa syuting video klip Kal ho naa ho... Sembari nunggu
Bhikram beli tiket masuk (100 rupees per-orang), kita nongkrong dulu dikios
makanan ringan. Icip-icip snack Nepal, juga ice cream dan permennya. Yang juara
rasa snacknya, rasa Masala Munch (bentuknya mirip twistko bumbu rempahnya tajem
kecut) hehehee... Benar kata Bhikram,
dari langkah pertama sudah disambut anak tangga yang kecil-kecil melungker.
Samar-samar dan semakin jelas terdengar hentakan gendang dan nyanyian atau
puji-pujian, syahdu sekali, diiringi tarian sepasang kakek dan nenek yang
berputar dan bertepuk tangan. Sungkan rasanya jika berlama-lama menatap dan
mengarahkan lensa pada mereka yang beribadah. Cukup disimpan dalam memori
ingatan untuk mengenang dan menceritakannya.
Tangga ini seperti tidak ada ujungnya, selain curam dan
licin, kaki semakin gemetaran. Semakin turun semakin gelap, hanya diterangi
bohlam lampu kuning temaram, saat memasuki goa kita disambut kandang sapi.
Karena dibangun untuk tujuan wisata, kita diperbolehkan masuk ke terowongan
kecil secara gratis. Juga boleh untuk menyumbang, dan mendapat segelas air
susu. Pada 40 meter pertama didalam gua terdapat candi Siwa utama yang mana
penggunaan kamera dilarang disini. Kita jalan memanjang beriringan pegangang
tangan, karena jalanan kecil, lembab dan semakin licin. Sekarang sudah sampai
dititik yang dalam diperut bumi, ada tangga besi yang kelihatannya tidak terlalu
safety untuk dipijak. Biasanya disini dilintasi dan disambut suara air terjun yang
mengalir dari atas tanah menuju perut bumi. Karena debit air sesuai musimnya,
kita disambut celah-celah kosong menganga jalur aliran air. Didorong rasa
penasaran, kita serombongan nyoba turun lebih kebawah melalui tangga yang
mengkhawatirkan ini. Sangat gelap, penerangan bergantung pada cahaya matahari
dari celah atas nan jauh. Tak ada foto, karena hasilnya blur dan too flashy,
heheheee..... Dan ternyata, setelah itu naik tangga ini lebih mengketir-ketirkan
hati. Dilanjut melewati lorong kecil tadi yang sekarang jadi menanjak. Juga
rasanya kehabisan nafas untuk naik tangga melungker buat kembali ke atas bumi. Benar-benar
melelahkan, luar biasa untuk kakak-kakak dan bunda yang saling menyemangati.
|
credit : Zaki |
Sesampai di mobil, lega sekaliiiii.... Sebelum masuk mobil,
liat ada yang jualan jajan semacam mie lidi dipinggir jalan, hahahaa berasa
dikampung sendiri. Karena kecapean, kita skip penawaran dari Bhikram yang
katanya dia mau ngasih bonus ngeguide ke World Peace Pagoda di dekat Phewa Lake
kemarin. Eman tapi sudah habis tenaga. Dari jauh, liat papan nama hotel udah
senang banget, mau guling-guling dikasur !
Eh tapi, hari ini terakhir di Pokhara, naroh barang bentar.
Kita berlima mutusin mau nge-sunset dipinggiran Phewa Lake sekalian cari
souvenir disepanjang jalan arah Phewa Lake kemarin. Sambil jalan kaki,
nebak-nebak belokan arah ke jalan utama dari hotel, yang ternyata keliru,
hahahaaa... jalan pelan-pelan, akhirnya nemu pertigaan dengan jalan utama.
Tepat dipertigaan itu, ada abang jualan jus yang kayaknya fresh murni buah
tanpa tambahan pemanis. Sebelum membeli, kudu harus tanya harga dulu yaa
gaesss.... 100 rupees pergelas... kita pesan jus yang seratu rupees, dan milih
buahnya, pas giliran zaki, si abang rekomenin jus pomegranate a.k.a delima,
kita juga dikasih icip buliran buah delima segar. Jus nyaa enak, asli diperah
bukan hasil blender, hehehee. Pas mau bayar, si abangnya ngeluarin kalkulator
dan seperti ngitung bill-nya. Fix kena tipu. Hahahahaa.... Karena sudah diminum
ya mau bagaimana, jus delima nan segar itu ternyata mahal punya (lupa ditagih
berapa rupees hehehee). Kak Yuki ngebela diri dari si Abang, Abangnya ga ngalah
ngototnya. Hikmahnya, selain nanya harga diawal, kudu dicatat yaa gaesss harga
dealnya (berlaku di negara manapun), biar ga dinaikin harganya. Ikhlas ikhlas
sambil jalan menjauh dari abangnya.
|
Jalanan dari Hotel |
|
Jas Jus Berhadiah |
|
Jus Delima, mahal hahahaa |
|
Langsung jalan, good bye jus |
Selain souvenir, disepanjang jalan banyak yang menawarkan
pijat refleksi, tattoo, henna, dan makanan tentunya. Idat pengen banget pake
henna (tapi sampai pulang, ga jadi nge-henna dan banyak ga jadinya hahahahaa).
Untuk harga souvenir ternyata (baru disadari pas di Thamel, Kathmandu) di
Pokhara lebih murah. Lumayan deh bedanya kalau beli banyak. Sepanjang jalan
puas banget keluar masuk toko, beli ngeborong teh Masala khas Nepal, beli
kartu, baju dan lain sebagainya (sayang sebagian barang mikirnya nanti beli di
Thamel, yang akhirnya ga jadi beli). Sampai kelupaan kalau mentari mulai ilang,
padahal niatnya nge-sunset dulu. Kita coba cari jalur menuju pinggiran Phewa
Lake, ada pintasan tapi melalui cafe n resto yang nampak exclusive, sedangkan
jalur umumnya masih jauh dan takut ga nemu. Dengan kekuatan kepepet nge-sunset
(yang walaupun mentarinya udah rada tenggelam) kita berlima jalan cepat-cepat
setengah lari melalui receptionist dan kursi-kursi tamu, yang juga kebetulan
ada pertunjukan tarian. Woh, rasanya antara sungkan sama ya udah deh hari
terakhir, mesti ngerasa sunset. Sesampai pinggiran danau, lega sekali. Meski
suasana sudah sayup-sayup menyambut langit malam. Kak Mar bukan tipe yang
pantang menyerah, diantara sisa cahaya, Kak Mar ngejar sunset sampe dekat
tambatan perahu-perahu.
|
Blur, sambil lari-lari liat penari |
|
credit : Zaki |
Pekat sudah sempurna, cahaya-cahaya lampu jejeran cafe dan
pertokoan mengganti mentari (semacam suasana Kuta, Bali). Kita kembali ke jalan
utama lewat jalur umum yang ternyata kecil (mirip gang). Karena belum makan
malam, jadi niat nya beli mie ama jajanan dimini market gitu, tapi menimbang
kehalalannya, jadi beli yang lain deh, heheheee... Mayan terasa nyut-nyut si
kaki, pas arah jalan pulang (sambil tetep keluar masuk toko) nemu diskonan
celana panjang yang ukurannya pas. Meski uang udah setipis kulit bawang, demi
paralayang perlu totalitas (isi dompet). Di toko ini juga nemu satu-satunya
slayer gambar bendera Nepal, beli ! Setelah itu kita jalannya slow kaya robot
habis oli, habis duit jugag (Hahahaa). Dipertigaan tadi ketemu rombongan Kak
Tati dan Bhikram mau jalan-jalan sekalian makan malam. Kita milih makan malam
di hotel aja sudah, ga kuat buat balik lagi. Sampai di hotel Kak Yuki Kak Mar
absen makan. Kita betiga doang makannya, yang akhirnya milih menu yang bisa
dibagi tiga, biar irit.
|
Jus Banana, nasi putih, osengan (potonya siang apa malam ini ? Lupa !) |
Hari ke-lima yang luar biasa panjang dan menakjubkan. Ada
mimpi yang terwujud pun ada mimpi baru yang terlahir. Kalau fisik boleh lelah,
maka rasa syukur jangan sampai lemah. Orang-orang boleh datang dan pergi, maka
dengan rejeki jangan lupa berbagi.
What A Fivetastic Day ! Alhamdulillah.......
Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar