Hari ke enam diawali pagi kedua di Pokhara, time to fly !
Sambil nunggu sarapan ready, bumil (Kak Tati) lagi pengen nyeduh sarimi di kamar. Semerbak harum kuah mie baso bikin kangen sama rumah, padahal baru jalan 6 hari, dan masih ada berminggu berhari lagi buat balik ke Amuntai tercinta.
Jadwal hari ini adalah nge-paralayang dan balik ke Kathmandu, seperti kemarin sarapan di ruang makan hotel dengan menu roti bakar selai stroberi+butter, jus buah, dan oseng kentang. Sangat membuat kenyang dan bikin mager. Karena jemputan van nge-paralayang bentar lagi mau datang, kita berempat siap-siap. Bunda Asma bilang untuk gak bawa benda-benda berharga, tas, kamera maupun handphone. Soalnya, nanti pulangnya beda van dan gak ada yang jaga. Dengan estimasi waktu satu jam, yang lain nunggu dikamar masing-masing.
Tidak lama berselang, kita sudah nangkring di van menuju tempat paralayang. Kita berempat, cewek-cewek mungil berkerudung warna-warni diantara bule-bule besar yang duduk pun kakinya nyangkut kemana-mana. Semua pada asik ngobrol dengan kawannya masing-masing. Tibalah kak Mar teringat kalau ternyata kita lupa bawa paspor, buku kecil sebagai identitas di negara orang. Sempat parno juga kalau kenapa-kenapa, kita memang cuma bawa badan, aku sama sekali gak bawa apa-apa. Untungnya Idat bawa handphone (yang sangat-sangat berguna).
“Bismillah aja sudah, cuma satu jam kok”
Awalnya aku kira kita langsung melenggang ke bukit buat nge-paralayang. Tapi ternyata di-drop dulu di kantor agen tour buat ngisi formulir dan klaim keselamatan diri. Wah, ada kolom nomor paspor, waduh pada gak hapal nomor paspor masing-masing lagi. Hahahaaa... ini keuntungan pertama kenapa Idat bawa handphone, adalah, ada data digrup mengenai peserta jilbab traveler lengkap dengan nomor paspornya. Alhamdulillah isi formulir lancar. Kemudian, karena aku sendirian pake rok, mbak penjaga nya nanya “but you wear skirt ?”, “yes, but I wear this” sambil angkat rok tinggi-tinggi diketawain bule-bule. Yaa, karena bajuku semuanya jubah panjang dan kemarin beli diskonan celana panjang, jadi make nya lapisan, terus roknya diangkat dan diikat dipinggang. Viola! I’m ready to fly !
Perlu satu jam dari hotel, berurusan formulir dan menuju ke bukit landasan paralayang. Yang bikin senang sepanjang perjalanan, yaituuu kembali ketemu jejeran punggung-punggung gagah pegunungan Himalaya kemarin ! Wah rasanya, jatuh cinta dua kali dengan pemandangan yang sama. Sayangnya, bukit landasan paralayang tidak mengarah ke pegunungan impian itu. Dari atas bukit, terlihat hamparan Phewa Lake yang menghijau berkilau diterpa cahaya matahari. Landasan penuh dengan parasut-parasut yang membentang, langit pun berhias warna-warni parasut-parasut yang mengembang. Mirip pesta layang-layang hias ditepi pantai. Sambil menunggu giliran terbang, keuntungan kedua Idat bawa handphone, adalah dokumentasi ! Ya, bersyukur banget sempat dipotoin Idat di area ini. Kita terbang bersamaan, berjejer empat.
|
credit : Idat Phone |
|
credit : Idat Phone |
|
credit : Idat Phone |
|
credit : Idat Phone |
|
credit : Idat Phone |
|
credit : Idat Phone |
Sebelum melayang-layang, kita dibriefing dulu cara-cara lepas landas dan perlengkapan yang ada diparasut. Ada kantong disabuk pinggang yang isinya kresek plastik. Persiapan untuk pertolongan pertama kalau mau muntah saat terbang (karena belum pernah paralayang, dalam hati nyombong kalau gak perlu tuh plastik, setelah itu ?). Lanjut dulu, karena ini terjun tandem, posisi kita duduk didepan penerbang. Dari lintasan landas yang berupa turunan bukit yang lapang, kita harus lari berirama dan menerjunkan diri diujung lintasan. Dilarang duduk duluan sebelum posisi benar-benar telah melayang, sangat berbahaya yang bisa mengakibatkan gagal terbang atau jatuh dari ujung lintasan (yang artinya masuk jurang).
|
credit : Idat Phone |
|
Mas dalam cerita, credit : Idat Phone |
Tepat sebelum giliran kami lepas landas, orang yang didepan kami siap terbang dengan posisi lari-lari, namun sebelum sampai ujung landasan dia duduk duluan. Penerbang dibelakangnya hampir kehilangan keseimbangan, untungnya parasut sudah berkembang dan bisa terbang. Instruktur kami berkali-kali mengingatkan untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Bahkan saat sudah dalam posisi lari, mas instruktur pasangan tandemku, terus teriak “RUN ! RUN ! RUN ! Faster, RUN !”. Sebenarnya panik banget setelah tiba giliran lepas landas, “bisa gak sih ? Bisa gak sih ?”. Takutnya setengah mati pas langkah pertama lari, perasaan super pasrah ketakutan yang pernah aku rasa. Setelah komando to fly, mas tandemnya langsung dorong dan otomatis lari sendiri ternyata (yaiyalah, namanya juga turunan bukit). Diujung landasan, yang isi kepala juga ikut berteriak “lari aja lari aja”, dan..... PLUNG ! Ya, plung, seperti itu lah kira-kira perasaan setelah lari terus dengan posisi berdiri dan menjatuhkan diri. “Mati sudah aku” sambil merem, beneran merem, karena rasa jatuh nya real banget, tiba-tiba badan ketarik keatas. “Masyaallah aku terbang !” dan bisik dalam hati “feel like taste of the death ?”.
Melayang-layang diudara, meletakan hidup ditangan Tuhan, parasut dan mas tandem. Posisi terbang kita masih rendah, aku nyari-nyari Idat, kak Ari, kak Mar yang entah ada dimana. Langit diatas kepala penuh parasut-parasut melayang kesana-kemari, lebih tinggi, berputar dan terlihat hampir saling menabrak. Ngeri ! Belum merasa aman dan adaptasi, mas tandem ambil posisi untuk semakin naik dengan cara menukik kekiri mencari arah angin. Parasut berputar, posisi benar-benar miring. Gilak ! Pusing ! dan ternyata proses buat terbang tinggi itu gak enak ! Kalau dulu pernah liat “tong edan” di pasar malam, semacam itu deh posisi kita mutar-mutar diudara. Setelah cukup tinggi, daratan terlihat mengecil, gunung-gunung yang megah serasa mungil, parasut-parasut yang lain sangat berjarak jauh. Dan satu hal yang lupa, kalau melayang diudara itu berarti siap membeku. Padahal udah beli sarung tangan, tapi ga dibawa, karena sombong ga bakal kedinginan. Mas tandem sibuk setting go-pro pake satu tangan, aku keder sendiri takut parasut hilang kendali (di danau takut tenggelam, di langit takut jatuh, aslinya penakut hahaha). Terus mas tandem bilang “Hey, hey, say hello hey !” sambil ngarahin go-pronya ke muka. Cukup lama dia asik moto-motoin, yang bisa kelihatan dipoto kalau mukanya menyimpan cemas ga karu-karuan. Memang subhanaallah sekali pemandangan dari atas sini, siapa sangka langit pertama yang aku coba adalah langit Nepal, even on my dream ga pernah mimpi-in ini. Menggantung-gantung diparasut, mengontemplasi seluas mata memandang, itu anugerah yang tak ternilai meskipun via seratus dolar. Worth it banget lah makcik ! Boleh coba !
Parasut didepan berputar-putar sangat cepat, aku kira itu mau jatuh atau hilang kendali karena angin. “Why is that ? What happened ?” sambil nunjukin ke mas tandem. “You want it too ?” kata mas tandem dan langsung take action. Gilak ! Gilak ! Ini lebih gilak ! Daripada mutar-mutar naik tadi. Putarannya udah kayak mesin cuci lagi ngebilas pakaian, cepat sekali ! Kesombonganku buat gak bakal muntah mulai terpatahkan. Mual beribu mual, dengan posisi miring dan berputar, mikir mau buka kantong disabuk pinggang. Tapi keburu takut, merem semerem-meremnya ga mau buka mata. Setelah posisi normal kembali, mas tandemnya ketawa dan bilang “we will landing”, aku masih belum bisa mikir. “Get ready, and stretch out your leg like this”, “eh kita udahan nih mas” dalam hati dan masih belum ngeh kalau posisi parasut sudah menurun. “Ok, we will go on that circle” sambil nunjukin daratan berumput hijau empuk dengan lingkaran bergaris putih. “Get ready, get ready” dengan cekatan mas tandem menarik kendali parasutnya, dan aku yang mual setengah mati harus siap-siap merentangkan kaki dan kembali menginjakan kaki ke daratan. Tsssssuuuuuuut..... Kita berdua mendarat dengan mulus sambil lari-lari ngerem. Mas tandem langsung melepaskan tandemnya, dan aku bisa berlari bebas menuju ke pondokan. Ternyata udah ada Idat dan Kak Ari duduk menunggu, muka nya pada pucet bahagia. Sambil nunggu kak Mar mendarat, bersabar nahan mual, rebahan dikursi kayu biar ga muntah dan pengen minum air putih hangat tapi kita gak bawa duit. Nyezzzzzs moment. Gak lama bergundah tenggorokan, kak Mar mendarat dengan mulus dan sempurna, posisinya tetap berdiri seolah dayang nirwana turun dari langit. But, itu tak mengobati demonstrasi diperut. Setelah menahan lama, tertuntaslah dendamnya. That’s ok, malah bikin ringan kepala.
|
Padahal lemes mules, credit : Idat Phone |
|
Setelam tumpah dari langit, credit : Idat Phone |
|
Masih ngumpulin nyawa, credit : Idat Phone |
|
Ending Bahagia, credit : Idat Phone |
|
Landing tanpa kendala, credit : Idat Phone |
Kemudian, berselang sebentar landasan mendarat sudah penuh sama turis-turis dari langit. Bahkan ada emak-emak yang berumur (bule gitu) cuma pake baju lengan seketek, sepatu casual biasa, mendarat dengan anggunnya sambil benerin helmnya. Wadduuuuh, kita yang pakaian serba panjang plus kerudung aja kedinginan, itu emak-emak fix luar biasa ! (Jangan katrok nab, kamu-nya aja yang belum pernah main salju, baru kena udara pegunungan aja udah membeku) :P
Setelah mas-mas tandem selesai berberes parasut, kita semua kembali ke van. Kalau yang tadinya asik ngobrol, sekarang hening dengan pikirannya masing-masing. Melelahkan memang, tapi juga menyenangkan. Pengalaman paralayang ini patut dicoba meski sekali seumur hidup. Aku ngerasanya, melayang-layang diudara ini adalah gambaran kehidupan itu sendiri. Ada hal yang menakutkan, menggembirakan, ada ketidakpastian dan ada juga harapan. Dari lari buat terbang sampai mendarat kembali itu penuh dengan nilai penghargaan buat diri kamu sendiri. Belive yourself be like, “ Yes, you can !”. you can fly, you can fall, you can life, you can die, you can smile, you can cry. Hahahaaa....yang senangnya percaya kalau udah say, owh, I did it.
Touched down di kantor agen tour, kita antri buat ambil hasil poto dari mas tandemnya. Tidak lama, kita udah punya satu CD poto masing-masing. Kita duduk lagi nunggu dianterin kembali ke hotel. Sudah hampir jam 12, tapi kita tak kunjung diantar. Inilah keuntungan keempat Idat bawa handphone, nyari wifi dan tersambung dengan kontak WA grup yang pada panik nunggu kita gak balik-balik. Ternyata ada miskomunikasi, kalau turisnya pulang gak diantar (udah kayak jelangkung aja yak). Kita berempat sempat panik, juga karena harus cepat balik ke hotel untuk lanjut pulang ke Kathmandu. Solusinya, kita naik taksi, meski tak bawa uang, yang penting nyampe hotel. Langsung, jalan dikit sampe jalan raya nunggu taksi. Ini pertama kali, nyoba naik taksi di Nepal. Setelah ngasih tau alamatnya dan berdoa biar gak ditipu, taksi melaju membelah jalan kota Pokhara. Yang lucunya, setelah jalan satu belokan, kita sudah berada di jalanan pertokoan kemarin. Untungnya gak pake lama dan tipu, kita nyampe di hotel dan ambil duit dulu (hahahaa, abang taksinya sabar, alhamdulillah). Problem solved.
Sampai di Lobby hotel, semuanya udah ngumpul beserta tas-tas yang menggemuk karena belanjaan. Ternyata, kami berempat melebihi estimasi waktu terjadwal, dan tentu saja melewati batas waktu check out hotel. Merasa bersalah dengan yang lain, karena nunggu di lobby lumayan lama. Sungkan ama bumil, yang ikhlas membereskan perlengkapanku di kamar hotel, semuanya lengkap dimasukin ke tas (sorry and thank you so much Kak Tati :*). Karena memang keburu waktu, dengan secepat kilat kita semua beralih ke van tercinta yang sudah menemani enam hari ini. Sisa pusing berlanjut dengan perjalanan panjang ke Kathmandu. Posisi duduk tukeran sama kak Mar, aku duduk sebelahan Idat beserta tumpukan tas. Pas lagi enak-enaknya tidur, padahal niatnya gak pake tidur, kita mampir ke rumah makan pinggir jalan. Dengan nyawa yang belum terkumpul semua, kita turun satu per-satu menuju meja makan. So typically warung makan antarkota, luas dan juga berasa di Rest Area sekitaran Surabaya – Malang. Kalau toiletnya berasa di Binuang (daerah Kalimantan Selatan, antara Martapura – Rantau). Karena bingung dan takut ga cocok sama menunya, kita milih menu kentang goreng sama salad sayur dan lupa apa (hehehe). Hitungan menit, menu sudah tersaji dan menarik hati oleh salad sayurnya (gemesin saladnya :P).
|
Salad Mentimun ternyataaaah :D |
|
Sepenggal suasana |
|
Telolet Toilet |
Love dengan hidangannya, alhamdulillah habis dan kenyang. Perjalanan dilanjutkan. Melewati jalur yang kemarin menanjak, sekarang menurun. Posisi duduk dijendela sebelah kiri, bertemu pandang dengan aliran sungai yang membatasi bahu jalan dengan bukit seberang. Banyak jembatan panjang tinggi berhias bendera mantera warna-warni khas Nepal-Tibet. Pas, ngeliat di film, ternyata jembatan-jembatan ini mirip dengan jembatan menuju jalur trekking ke gunung impian. Wah, tau gitu kan poto-poto dulu, soalnya Bhikram nawarin buat poto-poto disini, tapi karena pada udah lengket ama kursi alias mager, semua sepakat skip spot disini. Nampak lebih lelah dari perjalan berangkat, mungkin karena berangkat kesorean, sudah malam kita pun masih belum nyampe.
|
Ilustrasi, credit : google |
Dalam gelap di van ini ada cerita yang berharga bagi aku khususnya, tentang bunda asma yang dibully netizen ditwitternya. Menjadi terkenal memang membanggakan juga menjadi ujian. Waktu itu, ada gosip cukup sensitif di tanah air tentang beliau dan kebetulan sekali bunda dalam keadaan lelah diperjalanan menjadi emosional dan sedih campur aduk. Ternyata pada twittan kasar, menghakimi, dsb, bisa sangat tajam dan merobek hati seorang beliau. Kita semua bersimpati dan prihatin, tanpa bisa berbuat banyak. Karena juga tidak ada koneksi internet, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Itulah gosip, mengerikan, praduga liar, brutal dan memang perlu tabayyun (konfirmasi) untuk menyaring informasi.
Sesampai di hotel, kita semua mengambil kunci kamar masing-masing, dan kemudian kembali ngumpul buat dinner. Rupanya bunda Asma dan lainnya sudah di ruang makan, bunda masih terpaku dengan layar iph*ne-nya. Airmata beliau dari perjalanan sampai makan malam masih mengalir, inilah kenyataan pahit yang harus dilewati. Sambil menunggu pesanan makanan datang, aku duduk tepat bersebelahan dengan bunda. Aku si kaku, bahkan tidak mampu menepuk pundak beliau untuk menyatakan keprihatinanku. Aku mematung, dan mendengarkan penjelasan beliau tentang apa yang terjadi tanpa bisa berkata-kata. Menurut penjelasan bunda, memang jelas gosip tersebut tidak benar adanya, jaga lisan jaga hati adalah penting bagi kita semua untuk tidak saling menyakiti. Jangan sembarangan berkata-kata itulah hikmahnya.
Ketika semakin malam, ruang makan segera tutup. Kita berpisah dengan hati yang berat karena kesedihan bunda Asma. Hanya Allah Swt. lah yang menguasai hati manusia, cukuplah Dia sebagai sandaran dari segala sandaran.
|
credit : Ayo Lebih Baik |
Untuk hari ke-enam ini semakin banyak cerita, tiap momentnya sangatlah berharga, memperkaya batin insyaallah.....
“Life is like a big merry-go-round,you’re up and then down, going in circles trying to get to where you are.....” Conquer – Empire Cast.
What a nano-nano day !
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar