Kamis, 29 Desember 2016

Day 8 [10 April 2015]

Kathmandu Peak, credit : Asma Nadia

Ohayou Gozaimasuuuuuu.....

Pagi kedelapan akhirnya tiba menjemput untuk segera packing dan siap-siap sarapan terakhir bersama roti bakar, jus buah, sosis goreng, oseng kentang dan buah anggur hijau. Rasanya sudah sangat akrab sekali dengan ruang makan ini. Yang pertama kali bertemunya saat very very late dinner, dengan menu steak daging sapi dan nasi gorengnya. Cukup lama kita menikmati sarapan sekalian menunggu waktu pertokoan kawasanan Thamel kembali buka. Disamping hotel sedang ada pembangunan gedung baru, yang uniknya diantara pekerjanya adalah perempuan. Dengan cekatan mereka memasukan batu ke kereta angkut, caranya pun unik dengan sekop yang diikat tali tambang, salah satunya memegang tali, sehingga membuat mudah yang satunya untuk menyekop bebatuan. Berjalan sedikit melewati gang-gang kecil dengan suasana yang khas sekali, lagi-lagi mampir ke toko souvenir, di toko ini kita ketemu dengan turis dari China yang baru aja turun gunung. Kulit mereka terlihat kusam dan kering, jelas saja dipegunungan yang dingin bersalju, sinar matahari yang menyengat tidak berasa membakar kulit. Salah satunya bilang perjalanan cukup melelahkan dan memang perlu semangat yang pantang mundur untuk mencapai tujuan trekking. Hati serasa semakin tertantang pengen nyoba mendaki pegunungan nan megah itu, selain budget juga kudu nyiapin fisik secara totalitas biar gak keok ditengah pendakian.








Bumil yang dari kemarin pengen banget nyoba beli buah-buahan segar yang banyak dijual sepanjang jalan, juga akhirnya kesampaian. Kalau tidak salah ingat, dibuku bu Siti Fadilah, beliau pernah nulis tentang negara India yang tidak mengimpor buah dari luar negeri. Sehingga buahan-buahan yang ada di sana seragam dan kurang menarik secara tampilannya, namun bu Siti sangat apresiasi dengan peraturan pemerintah tentang hal itu. Karena India bisa berdaulat dengan hasil kebun mereka sendiri, tidak seperti negara kita yang kebanjiran buah impor yang bikin jatuh pamor buah lokal. Dan mungkin di Nepal pun seperti India, karena rata-rata yang dijual adalah buah lokal yang mungkin hasil kebun sendiri (nasional).

Hari masih berasa sejuk, jalanan pun masih lengang, lebih leluasa untuk jalan kaki dan keluar-masuk toko. Tak lama banyak anak-anak kecil yang menjajakan gelang mainan yang bisa dibentuk 12 variasi. Gelangnya sederhana berhias manik-manik, dengan ahlinya mereka mencontohkan perubahan bentuk si gelang meski pake english yang terbatas bernada Nepali. Seperti amma-amma kemarin-kemarin, mereka juga kekeh menawarkan dagangannya, dan nempel sekali (dan targetnya selalu [aku]). Walaupun sudah ditolak beberapa kali, akhirnya bumil balik badan bayarin gelang-gelang ajaib itu. Dua kali bumil menyelamatkan si bokek ini dari kepungan pembisnis lokal selama jalan-jalan di Kathmandu.

Gelang Ajaib 








Setelah matahari sudah agak tinggi, menandakan waktu juhur akan tiba, kita balik ke hotel dan check out. Barang belanjaan yang baru dibeli dijejal-jejalkan diantara koper yang udah obesitas. Karena aku pengen bawain orang rumah snack Kurkure, jadi balik lagi ke toko kelontong di depan hotel. Sebelumnya, bunda Asma sudah mewanti-wanti untuk aware kalau beli-beli makanan harus cek lagi tanggalan expirednya. Ternyata benar, banyak snack-snack yang ada dikelontong sini sudah lewat tanggalannya. Jadi kudu milah-milah dulu sebelum membeli. Cukup ribet ngepack snack Masala ini, akhirnya dipinjemin bumil tas ransel yang muat menampung semuanya. Packing kilat pun selesai, semua barang sudah dikumpulin jadi satu di lobby hotel. Karena sudah Juhur, kita mau nyoba sholat di Masjid Jame Kathmandu yang berdekatan dengan Garden of Dreams kemarin. Untuk menghemat energi dan menghabiskan sisa rupees, kita semua naik taksi, satu taksi naik berempat. Abang taksinya pun tak pakai lama dan harganya sesuai mengantarkan kami ke Mesjid. Kebetulan hari ini adalah hari Jumat, dan pas kita nyampe sholat Jumat baru dimulai. Mesjid sangat penuh, sampai barisan sholatnya halaman mesjid. Sudah kepalang tanggung masuk diparkiran, kita serombongan jalan pelan-pelan diantara motor-motor yang terparkir menuju beranda paling ujung. Sesampai disana, bunda Asih kebingungan karena mesjid ini bukan seperti Mesjid Jame yang dikunjungi beliau kemarin. Kita pun masih adaptasi dengan kesungkanan berbaur dengan jamaah mesjid yang laki-laki semua. Sedangkan estimasi waktu disini Cuma sebentar, akhirnya setelah sholat Jumat selesai kita merapat buat gantian berwudhu diantara pancuran yang masih banyak jamaah lalu lalang. Kemudian sebelum kita wudhu, ada bapak-bapak yang sepertinya takmir mesjid yang mengarahkan kita ke beranda bawah. Ada pintu putih yang terkunci rapat, yang ternyata kamar mandi, Beliau bilang “silahkan biar berwudhunya lebih nyaman dan tertutup”. Alhamdulillah sekali pertolongan bapak ini, yang sangat memperhatikan dan menjaga saudarinya. Sholat pun lancar diantara sajadah panjang yang berlapis tikar jerami. Karena dikejar waktu, kita bergegas untuk kembali ke Hotel, dipintu keluar Mesjid kita disambut anak-anak kecil dan wanita yang menengadah dengan gelas kosong. Owh, kemiskinan dimanapun kamu berada dia berwajah sama. Satu kali memberi kemudian diserbu dari segala sisi. Menunggu taksi lewat pun lumayan lama, anak-anak kecil tadi enggan beranjak. Kemudian ada seorang bapak-bapak yang menegur anak-anak kecil ini dan perlahan menjauh sendiri. 










TAXI ! TEKSI ! Hahahahaa.... kita naik taksi dengan formasi yang sama. Selepas menginjak gas, disamping jendela terpampang nyata berdiri Ghantaghar (Tower Jam) kemudian sebelahnya terlihat pintu gerbang Mesjid Jamee. Ternyata, ada dua Mesjid dan itu berdekatan dan sejajar. Mesjid yang tadi kita kunjungi namanya Kashmir Taquiya terletak dibagian utara, mesjid ini dibangun oleh orang-orang Kashmir yang menetap di lembah Kathmandu semasa periode Malla. Sedangkan posisi Mesjid Jamee diarah selatan. Setelah kejadian gempa dahsyat di Nepal lalu (25 April 2015), kedua mesjid ini tetap berdiri utuh diantara bangunan yang lainnya.

Clock Tower


Jalanan semakin padat, mungkin seolah enggan melepas kami pulang ke tanah air. Dari dalam taksi mematri kuat ingatan atas keindahan Kathmandu beserta keruwetan jalur kabel listriknya. Mengamati lekat-lekat wajah yang berganti berlalu-lalang disepanjang jalan ini, karena nanti mungkin akan rindu dengan suasananya. 












Jam tangan sudah menunjukan waktu sore, dan saatnya perpisahan. Sebelum menaroh koper-koper ke bagasi van, sebelumnya kita semua serah terima sertifikat tour dan selendang kain Nepal. Yang diserahkan langsung oleh pemilik tour & travel (lupa nama beliau) dan kembali bertemu Bhikram. Senang dan haru jadi satu, momen ini diabadikan dalam foto bersama.









credit : WA grup
Ternyata dapat bonus dari Bhikram, karena masih ada tersisa waktu sebelum ke bandara, kita mampir dulu ke Swayambunath atau dikenal sebagai Kuil Monyet (The Monkey Temple). Swayambhunath merupakan sebuah komplek peribadatan kuno yang berdiri di atas bukit Kathmandu Valley. Kuil ini juga disebut-sebut sebagai kuil paling suci diantara situs peribadatan Buddha di Nepal. Tiket masuknya sebesar 200 rupees. Seperti biasa, Bhikram menyarankan kalau sudah lelah atau tak kuat nanjak lebih baik menunggu di mobil saja. Bumil dan bunda Asih beserta kak Yuki skip main kesini. Ada dua jalur untuk masuk ke kuil ini, yaitu sebuah tangga yang berjumlah 365 anak tangga atau melewati jalur yang bisa dilewati oleh mobil. Karena kita berada dijalur masuk yang kedua, pintu masuk selatan ini cukup lumayan juga menaiki anak tangganya meskipun tak sebanyak anak tangga jalur masuk sebelah timur.


credit : WA Grup


Setelah tanjakan tangga panjang selesai dilewati, kita semua ngos-ngos’an dan memilih untuk duduk rehat sejenak. Dalilah, latarnya bagus untuk poto-poto, sekalian ada ide buat video promosi trip bareng bunda Asma ke India 2016. Dan dalilah keasikan syuting dadakan sampai-sampai lewat waktu, padahal belum nyampe puncaknya. 



credit : WA Grup

Matahari sudah semakin menjingga, bulat kecil merona. Bertemulah kita dengan stupa Swayambhunath yang merupakan pusat dari komplek situs disini. Pada stupa ini terdapat sepasang mata disetiap sudutnya. Yang bisa diartikan sebagai kebijaksanaan dan rasa kasih sayang, dibawah setiap pasang mata ada mata ketiga. Mata dipercaya berfungsi memancarkan sinar kosmik kepada makhluk-makhluk surgawi yang memanggil mereka untuk turun ke bumi, bergabung bersama Buddha yang sedang berkhotbah.










Hasil poto disini harap dimaklumi ketidak sempurnaannya, karena hanya menggunakan kamera ponsel dan nyesal juga ninggalin kamera di mobil. Memang banyak monyet disekitaran kuil ini, yang sepertinya sudah akrab dengan manusia. Stupa Swayambhunath ini sama megah dan menakjubkannya dengan stupa Boudhanath, penuh dengan unsur spritualitas tinggi. Suasananya pun sejuk dan menonjolkan ke-khas-an Kathmandu itu sendiri, kita bisa melihat seluruh kota Kathmandu dari ketinggian ini. Dan pada gempa hebat lalu, stupa ini pun juga harus menyerah dan diperlukan renovasi yang besar.













credit : Asma Nadia
credit : Asma Nadia
Namanya juga turis dan ini hari terakhir kita di Kathmandu, setiap sudutnya kita sempat-sempatin buat poto. Ketika melihat ke arah barat, matahari perlahan turun dengan anggunnya. Waktu yang tepat untuk poto siluet ! Masih saja lupa waktu, malah bergantian poto bersama matahari senja. Handphone bunda Asma pun berdering, panggilan masuk dari Bhikram menandakan sudah lewat batas waktu yang disepakati. 



credit : Zaki
credit : Zaki
Dengan satu komando, kita semua balik badan menuju tangga panjang tadi. Kekuatan kepepet menambah laju langkah menyusuri turun anak tangga. Diujung anak tangga paling bawah terlihat ada warga lokal yang lagi makan bersama, kalau ditempat kita mungkin semacam acara “syukuran”. Hampir saja membuat fokus kita terbagi, Bhikram sudah memanggil-manggil dari kejauhan. Namun beberapa langkah dari anak tangga, terdapat kolam perdamaian ( World Peace Pound). Yang sebenarnya dari pintu masuk kita sudah disambut kolam ini tapi belum ngeh keberadaannya. Ditengah kolam ada patung Buddha yang berdiri diatas bunga teratai, dan terdapat guci didekat kaki sang Buddha. Konon katanya bagi sesiapa yang melempar koin dan berhasil masuk ke dalam guci, permohonannya akan terkabul. Kebetulan pas kita lewat para pemuda lokal sedang mengadu permohonannya dengan melempar koin. Baru saja mau berhenti sebentar melihat kegiatan mereka, kak Yuki dengan wajah cemasnya sudah menjemput kami agar segera bergegas kembali ke mobil.






Menurut informasi, semakin malam jalanan akan semakin macet. Takut terlambat nyampe ke bandaranya. Penerbangan kita jam 21.00 waktu Nepal, dan harus berada dibandara dua jam sebelumnya. Sedangkan waktu sudah menunjukan 18.30, benar-benar sangat mepet dan bikin kita semua deg-deg an. Untungnya, kita semua sudah check-in boarding pass online tadi pagi. Jadi sampai bandara tinggal drop bagasi, pun dengan terburu-buru saying farewell untuk Bhikram dari kejauhan. Kita lanjut ke arah bagian imigrasi. Bunda Asma sangat khawatir dengan tas carrier kak Ari yang nampak berat dan melebihi batas maksimal barang bawaan ke kabin. Alhamdulillahnya tidak ada penimbangan berat tas kabin, semua lancar dan lolos proses imigrasinya, waktu sudah hampir jam 20.00. Kita niatnya mau sholat isya dulu disini, mencari space kosong dipojokan. Dan tidak ada tempat kosong. Bandara ini benar-benar penuh dengan manusia yang beragam macam. Sampai bangku kosong untuk duduk pun susah didapat. Sehingga wajar sekali toilet nya berasa di terminal antar-kabupaten yang tidak terurus, no water, dan menyengat. Belum selesai perburuan bangku kosong, terdengar panggilan untuk penerbangan kami menuju Kuala Lumpur. Tidak perlu aba-aba, antrian ke ruang tunggu langsung mengular panjang. Kita satu rombongan ambil posisi masing-masing, tenggelam diantara bule-bule berbadan besar. Benar saja, setelah melewati pintu pengecekan boarding pass, ruang tunggu yang sempit ini tak mampu menampung semuanya. Rombongan kita terselip ditengah-tengah ruangan, dan alhamdulillahnya didepan kita adalah pintu keluar menuju pesawat. Jadi kita serombongan langsung pasang badan berbaris mengarah ke pintu. Tiba-tiba ada petugas keamanan wanita yang mengecek kami kembali, ternyata doi mencari bumil, untuk diprioritaskan masuk pesawat.


Ketepatan posisi antri memberikan keuntungan masuk ke pesawat duluan. Kali ini tempat duduk kami berjejer, tidak terpisah-pisah. Setelah beres pengaturan tas dikabin, menyandarkan bahu dikursi adalah kenikmatan yang luar biasa. Langsung rasa lelah seharian jalan-jalan menjalari sendi-sendi yang biasanya tabah menemani aktifitas sehari-hari. Wah, finally kita sudah di pesawat yang menuju ke bumi pertiwi. Lampu pun dipadamkan, saatnya untuk take off. Dari jendela pesawat nampak berbinar cahaya Kathmandu seolah melambaikan tangannya salam perpisahan. Posisi peswat pun semakin meninggi dan menjauh, selamat tinggal Nepal, sampai jumpa kembali.

Sebelum berpindah hari, pramugari membagikan kotak makanan bagi penumpang yang telah memesan online. Tepat seperti penerbangan berangkat sebelumnya, aku tidak membeli paketan apapun untuk dimakan. Dan duduk diantara kak Tati dan kak Mar yang khusyuk dengan makanannya, hmmmm hati pilu, perut lapar, dan tak berdaya. Namun, rejeki sudah diatur Tuhan, bumil tidak terlalu cocok dengan menunya dan dihibahkannya lah nasi lemak uncle (apa gitu namanya) ke atas meja kosongku. Bak nemu berlian ditumpukan jerami, senang sekali rasanya (sekaligus sungkan banget sama dedek bayi yang emaknya makan sedikit malam ini). “Maka nikmat mana yang kamu dustakan ?”

– Alhamdulillah-

फेरि भेटौला (pheri bhetaula) !

See you Again !